Pendidikan Di Kuba

November 1, 2005 § 12 Komentar

Ketika pemerintah memotong subdisi bahan bakar minyak (BBM), alasan yang dimajukan karena pemerintah ingin menghemat anggaran negara. Kalau subsidi tidak dipangkas, negara bisa bangkrut. Tapi, apakah dengan menghemat anggaran negara berarti melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak sosial-ekonomi rakyat? Tokh, pemerintah bukan hanya memotong subsidi untuk BBM, listrik dan telepon tapi, juga memotong subsidi untuk sektor kesehatan dan pendidikan.

Kalau dirunut ke belakang, pertanyaannya apakah benar negara kita kekurangan anggaran untuk pemenuhan kebutuhan rakyat? Saya tidak memiliki data yang akurat seputar masalah ini. Apalagi soal anggaran atau penghitungan anggaran ini sangat rumit atau sengaja di rumit-rumitkan. Tetapi, saya meragukan bahwa negara kita mendekati bangkrut, sehingga memberi alasan kepada pemerintah untuk berlepas tangan dari kewajiban konstitusionalnya.

Marilah kita bandingkan sejenak kondisi negara kita dengan Kuba, sebuah negara kepulauan di kawasan Karibia, Amerika Selatan. Kuba secara ekonomi adalah negara miskin, karena selama 40 tahun diembargo oleh pemerintah Amerika Serikat. Seperti Indonesia, dalam peta bumi ilmu sosial, Kuba digolongkan sebagai negara berkembang. Tetapi jika kita menengok laporan indeks kualitas manusia yang diterbitkan oleh badan perserikatan bangsa-bangsa (PBB), kualitas sumberdaya manusia Kuba, jauh melampaui kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Mengapa bisa demikian?

Universitas Untuk Semua

Di negeri yang terkenal karena produk cerutunya itu, tingkat melek huruf penduduknya sangat tinggi. 97 persen dari penduduk yang berusia di atas 15 tahun bisa membaca dan menulis. Dari komposisi itu, jumlah laki-laki yang melek huruf mencapai 97, 2 persen, sedangkan perempuan mencapai 96,9 persen. Sebagai perbandingan, sebelum revolusi pada 1959, angka buta huruf sebesar 30 persen. Kini penduduk yang buta huruf nol persen. Kuba juga merupakan negara dengan tenaga guru terbesar dan tersukses dalam bidang pendidikan. Dari segi komposisi jumlah guru-murid, untuk tingkat sekolah dasar dari setiap 20 murid dilayani oleh satu orang pengajar. Untuk tingkat sekolah menengah, satu orang pengajar melayani 15 murid. Keadaan ini menyebabkan hubungan antara guru-murid berlangsung secara intensif.

Setiap guru di Kuba adalah lulusan universitas dan memperoleh pelatihan yang sangat intensif dan berkualitas selama masa karirnya. Yang unik dari sistem pendidikan Kuba, adalah hubungan guru-murid-orang tua yang tampak dikelola secara kolektif. Seluruh staf pendidikan (pengajar dan pegawai administrasi) tinggal di dekat sekolah, sehingga mereka mengenal satu sama lain. Bersama murid dan orang tuanya, para guru ini bekerja bersama dan menyelesaikan secara bersama masalah-masalah menyangkut bidang pendidikan dan kesehatan. Metode ini merupakan pengejawantahan dari nilai hidup yang diwariskan oleh Che Guevara, tentang solidaritas kelas. Dengannya, pendidikan tidak hanya bermakna vertikal, dimana semakin terdidik orang peluangnya untuk berpindah kelas semakin terbuka. Tapi, juga bermakna horisontal, bahwa pendidikan juga bertujuan untuk memupuk dan mengembangkan solidaritas antar sesama, penghargaan terhadap alam-lingkungan dan kemandirian.

Menurut Juan Casassus, anggota tim dari the Latin American Laboratory for Evaluation and Quality of Education at UNESCO Santiago, prestasi tinggi Kuba dalam pendidikan ini merupakan hasil dari komitmen kuat pemerintahan Kuba yang menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas teratas selama 40 tahun sesudah revolusi. Pemerintah Kuba memang mengganggarkan sekitar 6,7 persen dari GNP untuk sektor ini, dua kali lebih besar dari anggaran pendidikan di seluruh negara Amerika Latin.

Dengan anggaran sebesar itu, pemerintah Kuba berhasil membebaskan seluruh biaya pendidikan, mulai dari level sekolah dasar hingga universitas. Bebas biaya pendidikan juga untuk sekolah yang menempa kemampuan profesional. "Everyone is educated there. Everyone has access to higher education. Most Cubans have a college degree," ujar Rose Caraway, salah satu mahasiswa AS yang ikut progam studi banding di Kuba, pada 2005. Kebijakan ini menjadikan rakyat Kuba sebagai penduduk yang paling terdidik dan paling terlatih di seluruh negara Amerika Latin. Saat ini saja ada sekitar 700 ribu tenaga profesional yang bekerja di Kuba.

Tetapi, kebijakan menggratiskan biaya pendidikan ini tampaknya kurang mencukupi. Sejak tahun 2000, pemerintah Kuba mencanangkan program yang disebut “University for All.” Tujuan dari program ini adalah untuk mewujudkan mimpi menjadikan Kuba sebagai “a nation become a university.”

Melalui program ini seluruh rakyat Kuba (tua-muda, laki-perempuan, sudah berkeluarga atau bujangan) memperoleh kesempatan yang sama untuk menempuh jenjang pendidikan universitas. Caranya, pihak universitas bekerjasama dengan Cubavision and Tele Rebelde, menyelenggarakan program pendidikan melalui televisi. Perlu diketahui, saat ini media televisi Kuba menyediakan 394 jam untuk program pendidikan setiap minggunya. Jumlah ini sekitar 63 persen dari total jam tayang televisi Kuba. Dalam kerjasama ini, pihak universitas menyediakan paket kurikulum pendidikan dan tenaga pengajar dan pemikir yang berkualitas. Sebagai contoh, salah satu mata acara yang disuguhkan adalah sejarah filsafat, yang diasuh oleh Miguel Limia, seorang profesor filsafat dari institut filsafat.

Demikianlah, sejak program ini on-air pada 2 Oktober 2000, ada sekitar 775 profesor yang datang dari universitas-universitas besar di Kuba yang aktif terlibat dalam program ini.

Hasil dari komitmen dan kerja keras pemerintah Kuba dalam membangun sektor pendidikan ini, nampak dari hasil kajian perbandingan yang dilakukan oleh UNESCO, terhadap siswa dari 13 negara Amerika Latin di bidang matematika dan bahasa. Dari studi itu diperoleh hasil, prestasi siswa Kuba jauh di atas prestasi siswa dari negara lainnya yakni, sekitar 350 point. Bandingkan dengan Argentina, Chile, dan Brazil yang nilainya mendekati 250 poin.

Prestasi Bidang Kesehatan

Salah satu prestasi tertinggi dari pembangunan pendidikan Kuba, tampak dalam bidang pendidikan kesehatan. Seperti dikemukakan Cliff DuRand, profesor emeritus filsafat di Morgan State University, Baltimore, AS, saat ini rata-rata tingkat kematian dini di Kuba hanya 5,8 kematian dalam satu tahun untuk 1.000 kelahiran. Angka ini adalah yang terendah di kawasan Amerika Latin, bahkan lebih rendah dari yang terjadi di Amerika Serikat.

Jumlah tenaga dokter per kapita Kuba jauh lebih banyak dibandingkan negara manapun di dunia. Saat ini saja, ada sekitar 130.000 tenaga medis profesional. 25.845 tenaga dokter Kuba bekerja untuk misi kemanusiaan di 66 negara, 450 di antaranya bekerja di Haiti, negara termiskin di benua Amerika. Sebagian lainnya bekerja di kawasan-kawasan miskin di Venezuela. Ketika terjadi bencana topan Katrina di New Orleans, beberapa waktu lalu, Presiden Fidel Castro berinisiatif mengirimkan 1.500 tenaga dokter. Tapi, inisiatif ini ditolak oleh pemerintah AS dengan alasan yang sifatnya politis.

Tidak hanya untuk rakyat Kuba, kini melalui Latin American School of Medicine, pemerintah Kuba memberikan beasiswa untuk pendidikan kesehatan kepada ratusan kaum muda miskin dari seluruh negara Amerika Latin, Afrika, bahkan Amerika Serikat. Yang menarik, di Kuba pengajaran kesehatan tidak hanya menyangkut soal ilmu pengetahuan dan seni pengobatan tapi, juga nilai-nilai pelayanan sosial terhadap kemanusiaan. Seperti dikemukakan Castro, ketika mewisuda 1610 mahasiswa pada musim panas Oktober 2005,

“Modal manusia (human capital) jauh lebih bernilai ketimbang modal kapital (financial capital). Modal manusia meliputi tidak hanya pengetahuan, tapi juga – dan ini yang sangat mendasar – kesadaran, etika, solidaritas, rasa kemanusiaan yang sejati, semangat rela berkorban, kepahlawanan, dan kemampuan menciptakan sesuatu dalam jangka panjang.”

§ 12 Responses to Pendidikan Di Kuba

  • Anonymous berkata:

    This post has been removed by a blog administrator.

  • Rony Zakaria berkata:

    Saya sangat tertarik dengan tulisan Bang Coen ini.
    Pendidikan memang harus diutamakan jika ingin memajukan suatu negara.

    Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah selama ini menurut saya hanyalah ‘obat ringan’ terhadap sebuah penyakit(red masalah) yang kronis, yang hanya mengobati sementara saja.
    Andaikan pemerintah mau mengalokasikan anggarannya lebih banyak ke sektor pendidikan, dalam 10-15 tahun kedepan Indonesia bisa lebih baik.

    Sayang memang orang Indonesia terkadang tidak sabaran…Termasuk pejabat, partai, dan juga masyarakatnya…(semua hasil produk pendidikan dengan anggaran murah)

  • Anonymous berkata:

    Harlan Isjwara

    Jika Kuba begitu hebat, mengapa hampir tiap hari ada orang Kuba lari ke Florida ? Dalam setahun jumlahnya ribuan (sama juga dengan banyaknya orang Cina berenang/lari/menyelundup ke Hongkong). Saya khawatir Kuba memakai taktik Soekarno di jaman Orla, memberitakan, bahwa buta huruf dan malaria sudah punah di Indonesia, padahal belum. Saya yakin banyak
    prestasi Kuba (dan RRC), tetapi masih banyak juga kekurangannya.

  • Mbak atau Mas Harlan,
    Soal Kuba:

    1. Seluruh data yang saya kutip itu dipublikasikan oleh Unesco badan di bawah PBB, dan juga oleh sarjana-sarjana dari AS. Jadi menurut saya agak netral dari bias propaganda politik.

    2. Orang Kuba mengungsi ke AS, ya itu wajar saja. Orang beda keyakinan politik dan merasa tidak nyaman dengan sistem politik yang berlangsung di negeri punya beberapa pilihan: (1) melawan kekuasaan yang berbeda itu; (2) diam sambil menunggu saat yang tepat untuk melawan; dan (3) mengungsi mencari tempat yang lebih nyaman secara politik. Lagipula AS itu jaraknya hanya sepelemparan batu dari Kuba.

    3. Kuba itu memang negara miskin, dalam arti jika kita menggunakan ukuran pertumbuhan ekonomi, besaran investasi asing, arus modal barang dan jasa, seperti yang selalu dijadikan ukuran sukses pembangunan sebuah negara. Tapi, mengapa mesti selalu itu ukuran kesuksesan? Orde Baru juga menggunakan ukuran itu, dan pernah disebut oleh Bank Dunia sebagai salah satu dari “Keajaiban Asia.” Kenyatannya, ekonomi kita sangat rapuh, sangat tergantung pada dinamika ekonomi internasional. Lalu, kemana angka-angka menakjubkan itu? Ya tersimpan dalam buku teks ekonomi.

    Kuba tidak terlalu mempersoalkan angka-angka pertumbuhan ekonomi dari sudut pandang ekonomi liberal. apalagi karena Kuba diembargo oleh pemerintah AS. Kuba memilih membangun negaranya dengan mengedepankan kualitas SDM, yang terbukti lebih tahan uji ketimbang kita. Coba Anda bayangkan kalau ekonomi Indonesia diembargo oleh katakanlah, Jepang (negara ini adalah pemberi utang terbesar kedua setelah konsorsium Bank Dunia kepada Indonesia), hmm, tak bisa dibayangkan. Memang masih banyak pelajaran yang bisa dipetik dari Kuba. Soal pembangunan pertanian misalnya, Kuba saat ini adalah negara yang paling berhasil dalam membangun sistem pertanian organik (tanpa menggunakan pestisida dan pupuk non-organik, seperti urea dsb). Pertanian organik ini dikembangkan, sebagai jawaban atas embargo AS dan bangkrutnya negara-negara Stalinis di Eropa Timur yang merupakan mitra dagang Kuba sebelumnya. Kini bahkan AS, sedang giat-giatnya menggalakkan penggunaan bahan makanan organik. Tulisan itu sebenarnya saya maksudkan agar kita mencoba mencari alternatif untuk keluar dari keterpurukan yang sangat memalukan ini. Bagi saya, kini saatnya bagi pemerintah, gerakan masyarakat sipil, dan gerakan sosial lainnya, untuk mengedepankan pembangunan kualitas SDM di atas pembangunan fisik dan angka-angka statistik ekonomi uang. “Saya yakin, jika pendidikan dan kesehatan kita gratis pada semua tingkatan, maka BBM naik 200 persen pun rakyat bisa memahami. Hemat di satu sisi, boros di sisi lain. Ini yang namanya subsidi silang.

    Salam,
    Coen

  • Anonymous berkata:

    Bapak (ma’af, ataukah Ibu ?) Coen,

    Saya setuju, bahwa tingkat kemakmuran yang diukur melulu dengan uang tidak selalu menggambarkan kesejahteraan rakyat. Kemungkinana besar – jika di negara berkembang – yang makmur hanya segolongan pimpinan saja. Dan saya setuju dengan niat anda untuk memberi jalan alternatif (free education and medical
    coverage).

    Yang saya ragukan adalah data-data PBB dan
    sarjana-sarjana AS yang anda kutip. Karena, lihat saja Indonesia : begitu yakinnya World Bank + IMF + PBB menyatakan, bahwa kita (OrBa) sukses membangun ekonomi (seperti conth yang anda pakai), padahal dalamnya rapuh ! Jadi, jika di Indo yang penuh dengan wartawan asing dan akhli-akhli ekonomi asing saja mereka bisa salah, apalagi di Kuba atau RRC, yang negaranya tertutup (Komunis).

    Saya tidak mengatakan, bahwa anda PASTI salah. Hanya kita mesti hati-hati dalam mempelajari data dari negara tertutup (sulit diverifikasi). Bayangkan, di Indo kita punya Bappenas – yang katanya – didikte oleh HIID (Harvard International Institute of Development). Ternyata mereka sendiri kecolongan, ternyata ekonomi kita rapuh – tidak sekuat seperti yang mereka tulis dalam laporan-laporannya (dalam mendukung permintaan utang baru; kasarnya – mereka bilang : jangan khawatir, ekonomi Indo kokoh. Kasi saja utang baru).

    Apalagi kalau mereka cuma dari jauh
    membaca laporan pemerintah (mungkin benar, mungkin propaganda ala Soekarno/Soeharto).

    harlan_isjwara@yahoo.com

  • Anonymous berkata:

    Salam untuk Coen dan Harlan,

    Sedap benar menikmati saling komentar antara kalian berdua; yang sebenarnya memiliki kebenaran masing-masing. Paling tidak dari kacamata latar belakang ideologi.

    Dalam kasus Kuba, 100 persen saya menyetujui Coen, sebab memang tak ada yang bisa dilakukan oleh satu bangsa yang diisolasi secara ekonomi kecuali membangkitkan kemampuan dari dalam diri sendiri.

    Coba saja Jepang, AS, dan Uni Eropa ramai-ramai meng-embargo Indonesia; dalam sekejap kita akan lihat potensi nasional bertumbuhan, yang paling aneh dan tidak masuk akal sekali pun. Bukankah bangsa ini amat masyur dalam hal siasat-menyiasati berbagai hal.

    Namun, sebaliknya, saya juga setuju dengan Harlan; lebih khusus soal bagaimana kita mempercayai satu informasi yang sangat sulit verifikasi?

    Di atas itu, saya kok heran mengapa Kuba yang menjadi contoh? Tidak usah jauh-jauh, di dekat kita ada Malaysia atau Singapura; atau India yang tahun ini mengumumkan berkurangnya angka kemiskinan penduduknya (dalam jumlah jutaan), yang kurang lebih bisa mewakili ”sesuatu” yang senafas dan senada dengan capaian Kuba. Dan yang terpenting: bisa diverifikasi karena informasi atas pencapaian itu bisa di-crosscheck dan diperbandingkan.

    Terima kasih.

    abarzanzi@yahoo.com

  • Mas,
    Terima kasih atas apresiasinya. Ada beberapa hal yang ingin saya komentari:

    1. Kebijakan Kuba tentang pembangunan bidang pendidikan dan keshatan, sudah dimulai sejak mereka memenangkan revolusi melawan rejim kediktatoran Fulgencio Batista, pada 1959. Jadi, ini bukan kebijakan yang bersifat reaktif, karena diembargo misalnya. Agak berbeda dengan pembangunan sektor pertanian yang mengedepankan pertanian organik, memang lebih ditujukan untuk merespon runtuhnya blok Sovyet dan politik embargo AS.

    2. Saya bersepakat dengan usulan Harlan, bahwa perlu verifikasi atas data. Ini sikap ilmiah yang harus dipegang oleh siapa saja. Tapi, adalah keliru jika mengatakan Kuba adalah sebuah negara yang tertutup, atau menutup diri, menutup informasi yang sebenarnya. Cukup banyak studi dan laporan media mengenai Kuba, yang informasinya tidak semata berasal dari pemerintah. Sebagai contoh, ada satu buku yang ditulis oleh Peter Roman, seorang profesor ilmu politik dari City Universtiy of New York (CUNY), yang menganalisa soal demokrasi a la Kuba. Buku ini adalah hasil studi yang mendasarkan penelitiannya pada metode penelitian partisipatoris atau penelitian terlibat di Kuba, selama lebih kurang sembilan bulan.

    3. Mengapa harus Kuba, contohnya? Ini kebetulan saja, karena saya saat ini lagi menggeluti soal Kuba terutama, aspek ekonomi dan politiknya. Soal pendidikan di India, saya ingat itu pernah di ulas dengan baik oleh rekan wartawan Kompas, Bambang P. Wisudo. Intinya kira-kira sama, ada kebijakan yang jelas dari pemerintah tentang pembangunan sumberdaya manusia.

    Salam,
    Coen

  • This post has been removed by the author.

  • Anonymous berkata:

    Bung Pontoh,

    Pemikiran dan diskusi membandingkan sistem pendidikan Kuba dan Indonesia menggelitik saya untuk ikut komentar, kebetulan saya pengangum berat pemikiran sosialisme Kuba.

    Sebagian besar kaum muda kita mengenal Kuba hanya produksi cerutanya saja, pada hal pada era tahun 60-an Kuba juga mengekspor pemikiran sosialilsme ke seluruh Amerika Latin, bahkan sampai ke Afrika (meskipun misi itu gagal).

    Pemimpin Indonesia pada era tahun 60-an juga bercita-cita mendirikan kekuatan komunis, tetapi gagasan itu berhasil digulingkan oleh misi CIA bersama Soeharto. Sejak itu tamatlah riwayat ajaran sosialisme di Indonesia. Tidak hanya ajaran sosialisme yang dilarang, para intelektual dan orang-orang yang berpandangan sosialisme dibunuh dan dibuang ke Nusa Kembangan dan Pulau Buru. Konsekwensi logisnya di Indonesia, semua tantanan sosial, politik, budaya, dan pendidikan dibongkar pasang oleh regim Soeharto, tak lain adalah mendukung percepatan industriliasasi. Hasil
    yang dicapai bisa dievaluasi menurut pandangan dan ukuran kita
    masing-masing, mungkin kita sepakat bahwa industriliasasi Indonesia gagal mensejahterakan rakyat Indonesia.

    Kuba, ketika Fidel, Che, Raul, dan Camilo berhasil menggulingkan regim Batista yang diktator, kebijakan pertama yang dilakukan adalah land reform dan mengeksekusi (nasionalisasikan) kekayaan orang-orang asing dan orang kaya, dan mengusir mereka keluar dari Kuba (tidak heran kalau banyak orang kaya lari ke Miami karena tidak sudi tiba-tiba harus menjadi orang sederhana).

    Di Indonesia, isu land reform sempat dirumuskan pada era 50-an tetapi tidak pernah diwujudkan, malah pada regim Soerharto berkuasa tanah rakyat diambil paksa untuk kepentingan bisnis militer dan keluarga cendana. Yang jelas keuntungan bisnis negara tidak pernah dikembalikan untuk investasi memperkuat rakyat, sebaliknya rakyat miskin disuruh mencari jalan keluar sendiri.

    Untuk urusan sekolahkan anak saja para petani miskin harus menjual sawah atau kebunnya, dengan harapan anaknya bisa lulus menjadi sarjana, kemudian mendapat pekerjaan yang baik supaya menghasilkan uang banyak, nantinya bisa membeli lagi tanah dan barang-barang lux sebagai simbol keberhasilan hidup. Saya pikir kita sudah sangat tahu semua, bahkan sering diangkat dalam reportase para wartawan juga.

    Saya sependapat dengan pemikiran kalian semua, saya pikir cukup banyak referensi pemikiran yang baik untuk memperbaiki nasib rakyat miskin, hanya saja pemikiran itu tidak akan ada artinya jika tidak dilembagakan dan diperjuangkan secara nyata, kuatir nanti hanya menjadi utopia saja.

    Bagaimanapun, prasyarat perubahan ke arah sana membutuhkan orang-orang yang punya semangat jiwa relawan yang loyal, bukan relawan yang dibentuk berdasarkan standar dollar AS. Perlu kita sadari bersama juga, kaum intelektual kita yang duduk di lembaga pemerintahan lebih senang menjadi komprador, atau sebagai broker untuk mendapatkan pinjaman luar negeri.Merekalah yang menguras dan menghabiskan isi kekayaan negeri kita ini,sementara nasib orang miskin disuruh sabar dengan isu-isu akan ada perbaikan
    di sana-sini.

    Salam,
    Ruddy Gustave
    ruddyg@flashmail.com–>

  • Uchi berkata:

    Hmmm… Kalau pendapat saya sih,,,
    emang tidak semua warga kuba puas dengan sistem di negara tersebut mengingat banyaknya warga kuba yg melarikan diri dari negaranya,tapi yang jelas lebih banyak orang yang tidak puas dengan sistem kapitalis yang diterapkan di negara kebanyakan….yang membanggakan demokrasi( seperti indonesia),padahal apa artinya demokrasi kalau tidak semua warga mendapat akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang layak dan berkualitas.Fidel yang tetap mempertahankan idealismenya ditengah kemelaratan benar2 sangat inspiring dibandingkan dengan indonesia yang idealismenya gak dipegang tapi melaratnya iya….

  • razaisme berkata:

    salam bwt semuanya …
    saya tertarik dgn diskusi antara Mas Cun Husain dengan Mas Ruddy Gustave…
    sangat menarik dan intelek banget..

    tapi yang saya tangkep mas2nya ini baru melontarkan wacana dan wacana belum merujuk kepada solusi perubahan …

    saya makin tertarik untuk mempelajari lagi
    tentang negara Kuba ini .. klo Kuba bisa mengapa Indonesia g bisa ??
    yang salah sistem atau orang yang menjalankan sistem ??

    truz saya mo tanya mengenai agama/kepercayaan yang ada di Kuba itu bagaimana ??

    gitu j mas dari saya ..
    disukusinya bagus baget..

    salam

  • coenhp berkata:

    Bung razaime,

    Thx telah berkunjung dan komentarnya. Orang Kuba mayoritasnya beragama Katolik, dimana mereka bebas menjalankan perintah dan larangan agamanya. Hanya saja, di Kuba agama benar-benar terpisah dari negara. Agama menjadi urusan pribadi, dia tidak boleh menjadi dasar hukum untuk mengatur kehidupan publik.

    -C

Tinggalkan komentar

What’s this?

You are currently reading Pendidikan Di Kuba at Coen Husain Pontoh.

meta