Pasar Bebas

Oktober 8, 2005 § 4 Komentar

KOSAKATA pasar bebas semakin ramai dibincangkan, terutama sejak praktek ekonomi terencana menemui kegagalan di bekas negara-negara komunis. Di Indonesia, kosakata ini makin bertambah ramai khususnya, ketika terjadi krisis ekonomi pada pertengaan tahun 1997.

Beberapa pakar menyebutkan, tidak ada pasar bebas di Indonesia dan itulah penyebab terjadinya krisis. Mereka menyebut sejumlah kriteria atas pernyataannya itu: banyaknya regulasi yang membatasi aliran masuk dan keluar barang, jasa, dan uang; dominasi dan monopoli prusahaan negara (BUMN) pada sektor-sektor strategis; dominasi dan monopoli kapitalis-kapitalis kroni yang dekat dengan keluarga cendana, dan bank sentral yang tidak independen. Karena itu, perjuangan untuk menegakkan kebebasan politik (demokrasi liberal) harus seiring sejalan dengan perjuangan untuk menegakkan kebebasan ekonomi (pasar bebas). Dan itu berarti, harus ada deregulasi yang sistematis, privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara, bank sentral yang independen, dan persaingan bebas dalam pasar.

Namun demikian, sejauh itu ide tentang pelaksanaan pasar bebas dinilai masih tidak konsisten. Salah satunya disebabkan oleh tarik-menarik antara kekuatan politik. Faktor lainnya, karena pasar bebas itu sendiri dianggap hanya menguntungkan elite.

Tetapi, apa sebenarnya yang dimaksud pasar bebas? Ide pasar bebas, seperti diutarakan Edward L. Hudgins, berakar pada konsepsi teoritis yang dirumuskan oleh Adam Smith, David Ricardo, dan Frederic Bastiat. Intinya, “kebebasan berdagang akan mendatangkan kemakmuran.” Secara lebih teoritis, pasar bebas mengidealisasikan pasar (Tentang pasar, lihat di sini) sebagai sebuah arena dimana seluruh keputusan dan tindakan ekonomi yang dilakukan oleh individu-individu dalam rangka pergerakan uang, barang dan jasa berlangsung secara sukarela, bebas dari paksaan dan pencurian.

Ide itu sendiri hidup dalam lingkungan kapitalisme, yang kala itu sedang tumbuh mekar di atas reruntuhan moda produksi feodal. Kalau kita lihat historis kemunculan kapitalisme, ditandai oleh dua peristiwa besar dalam sejarah umat manusia. Peristiwa pertama, revolusi politik yang terjadi di Perancis, yang secara dramatis tampak dari tuntutan: liberty (kebebasan), equality (persamaan), dan fraternity (persaudaraan). Peristiwa kedua, adalah penemuan teknologi baru yakni, mesin uap oleh James Watt, di Inggris, yang secara cepat mempromosikan revolusi industri. Kedua peristiwa ini, kemudian melahirkan sebuah sistem masyarakat baru yang disebut sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, dikembangkan nilai-nilai baru seperti, kebebasan politik, kesamaan formal di bawah hukum, kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi, dan persaingan bebas di pasar.

Di bawah sistem baru inilah, Adam Smith memakubumikan nilai-nilai yang dianggapnya merupakan pondasi teori pasar bebas: (1) kebutuhan manusia tidak terbatas; (2) sumber-sumber ekonomi yang relatif terbatas; dan (3) pengejaran pemenuhan maksimal kebutuhan individu (utility maximization of self interest) yang relatif tidak terbatas. Dari tiga nilai dasar ini, maka perebutan dan pertarungan untuk pemenuhan kebutuhan manusia mendapatkan pembenarannya. Dari sini kemudian lahir konsepsi yang membenarkan tentang persaingan individu, dimana kepentingan individu yang bebas akan memperkuat kepentingan individu bebas yang lain. Dalam kata-kata ekonom dari Mazhab Austrian, Ludwig von Mises,

seluruh individu adalah produser sekaligus konsumer, dan juga pekerja adalah sekaligus pengusaha. Dengan demikian, jika pekerja ingin menuai keuntungan lebih dan masyarakat semakin makmur, mereka harus lebih produktif dan harus menyesuaikan keahliannya pada tuntutan pasar. Pekerja dengan demikian, seperti para pengusaha, harus menghindari dan menentang pasar yang tidak bebas (trade protectionism).

Pada tataran ekonomi, nilai dasar Smithian ini kemudian melahirkan apa yang disebut persaingan bebas. Di mana persaingan bebas itu hanya bisa diwujudkan dalam pasar bebas. Secara logika, kita bisa mengatakan, “tidak ada persaingan bebas tanpa pasar bebas. Karena itu, keberadaan pasar bebas menjadi wajib adanya.” Inilah dasarnya, mengapa dalam pasar bebas intervensi pemerintah harus dibatasi dengan ketat. Jika pemerintah hadir di pasar, maka kehadirannya itu dibatasi sekadar untuk melindungi partisipan pasar dari tindak pemaksaan, termasuk perlindungan terhadap hak-hak kepemilikan dan memperkuat kontrak. Esensinya, pasar bebas dapat dipahami sebagai sebuah permainan dimana para pemainnya bertanding menurut seperangkat aturan umum yang melindunginya dari paksaan (termasuk pencurian); memperkuat aturan-aturan yang melahirkan wasit yang netral (pemerintah).

Peran negara minimal ini, ditegaskan lebih lanjut oleh Friedriech August von Hayek, yang mengatakan, peran negara bukan untuk mengintervensi spontaneous orde yang muncul dalam pasar. Peran negara justru untuk melindungi spontaneous order tersebut dari intervensi manusia, apakah itu para politisi atau kelompok-kelompok kepentingan seperti serikat buruh.

Menurut Sritua Arief, ada tiga asumsi yang dipercayai sebagai kebaikan dari pasar bebas atau perdagangan bebas: pertama, sistem perdagangan bebas yang diiringi dengan persaingan bebas tanpa proteksi akan menghindarkan berkembangnya apa yang disebut X-inefficiency. Dalam alam kompetisi, pihak produsen akan didorong untuk melaksanakan proses produksi yang efisien dalam makna, meminimumkan biaya produksi sehingga harga yang dibebankan kepada konsumen menjadi relatif murah. Kedua, sistem perdagangan internasional yang bebas akan mampu menghindarkan atau meminimumkan ketidakstabilan ekonomi makro yang menjurus pada “stop-go macroeconomics cycles.” Kebijaksanaan proteksi yang disertai oleh adanya kurs mata uang yang tidak realistis (overvalued currency), cenderung mengakibatkan terjadinya “foreign exchange bottleknecks.” Ketiga, liberalisasi perdangangan internasional akan mendorong berlangsungnya proses produksi dalam skala penuh dengan memperluas produksi untuk ekspor. Liberalisasi perdagangan internasional diharapkan menimbulkan situasi produksi yang berciri “increasing return to scale” sehingga, dapat berkompetisi di pasaran internasional. Situasi produksi ini dapat diraih melalui ekspansi pasar baik pasar domestik maupun pasar eksternal.***

Kepustakaan:

Hilary Wainwright, “Reclaim The State Experiments In Popular Democracy,” Pluto Press, London, 2003.

Sritua Arief, “Negeri Terjajah Menyingkap Ilusi Kemerdekaan,” Resist Book, Yogyakarta, November, 2006.

§ 4 Responses to Pasar Bebas

Tinggalkan Balasan ke Anonymous Batalkan balasan

What’s this?

You are currently reading Pasar Bebas at Coen Husain Pontoh.

meta