Kiri Baru di Cina

September 3, 2008 § Tinggalkan komentar

DUA pekan menjelang Kongres ke-17 Partai Komunis Cina, pada 15 Oktober 2007, pemerintah Cina menekan penerbit Jurnal pemikiran bergengsi Dushu (Readings), untuk tidak lagi menerbitkan jurnal tersebut.

Dushu adalah jurnal yang diasuh oleh Wang Hui, salah seorang yang dikenal sebagai tokoh aliran Kiri Baru (New Left) di Cina. Terbit pertama kali pada April 1979, di bawah Hui, Dushu muncul membahas beragam tema pemikiran seperti, filsafat Barat, teori sosial, dan pemikiran ekonomi. Nama-nama seperti Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, Ernst Cassirerr, Herbert Marcuse, Jean Paul Sartre, dan Sigmund Freud, ramai dibincangkan. Tetapi, menariknya, Dushu tidak membahas tema seperti teori modernisasi atau ekonomi mazhab neo-klasik.

Tetapi, tulisan ini tidak akan mendiskusikan soal Dushu. Saya mau mengajak pembaca untuk berkenalan dengan gerakan Kiri Baru di Cina, saat ini.

Berbicara tentang Kiri Baru di Cina, mengandung banyak ironi. Istilah kiri itu sendiri adalah sesuatu yang nista. Bermula dari reformasi ekonomi yang dicanangkan Deng sejak akhir 1978, dan makin terkonsolidasikannya kekuatan faksi Deng, istilah kiri merupakan label yang dipancangkan pada era kegelapan sosialisme Cina di bawah Mao Zedong. Terutama, yang terkait dengan peristiwa-peristiwa tertentu seperti, lompatan jauh ke depan (great leap forward), revolusi kebudayaan (cultural revolution), dan kolektivisme (collectivism). Label Kiri di masa ini, disebut sebagai Kiri Lama.

Selain itu, istilah Kiri Baru tidak pertama-tama digunakan oleh Wang Hui atau Cui Zhi Yuan. Istilah ini justru pertama kali digunakan oleh lawan polemik mereka. Tujuannya untuk mendiskreditkan. Dengan menyebut Kiri Baru, dimaksudkan agar memori orang langsung terhubung dengan Kiri lama era Mao. Dan itu berarti, diskusi lebih lanjut tak ada gunanya.

Tetapi, makin lama cap Kiri Baru makin menjadi penanda bagi sebuah gerakan pemikiran yang menentang jalan reformasi ekonomi yang ditempuh Cina. Dan sebagai sebuah gerakan, Kiri Baru adalah koalisi longgar di antara beberapa intelektual yang berbasis di Beijing.

Suara Kiri Baru ini makin vokal dan menonjol, terutama setelah safari bersejarah Deng Xiaoping ke provinsi Senzhen pada 1992, yang mengukuhkan diadopsinya jalan Kapitalisme. Pengukuhan yang kemudian dipertegas oleh pewaris kekuasaan Deng, menyebabkan ekonomi negeri itu bertumbuh sangat pesat. Pertumbuhan pesat yang segera diikuti oleh pembelahan sosial yang sangat tajam dan merajalelanya korupsi, nepotisme, dan kerusakan lingkungan.

Bagi Kiri Baru, dampak buruk pertumbuhan itu adalah buah yang jatuh dari pohon reformasi ekonomi itu sendiri. Berangkat dari tesis ini, tujuan utama dari Kiri Baru, menurut Wang Hui adalah “to deconstruct the illusion of neo-liberalism in China.”

Diagnosa ini tentu saja merupakan antitesa dari diagnosa kalangan liberal, yang melihat berbagai masalah sosial tersebut sebagai akibat tidak bekerjanya mekanisme pasar dan kompetisi bebas secara penuh. Sehingga obat yang disuguhkan pun adalah “to expel political power from the market by deepening economic reform and by initiating political reform.”

Dengan semakin memburuknya masalah sosial dan lingkungan di Cina, suara Kiri Baru semakin mendapatkan tempatnya. Sebagaimana dikemukakan professor Wang Shaoquang dari Chinese University di Hongkong, jika enam atau tujuh tahun lalu universitas di Cina, hampir semuanya didominasi oleh kaum liberal, kini tidak lagi. Sebabnya, masyarakat telah berubah, ujar Wang lebih lanjut.

Kritik

Kritik utama kalangan Kiri Baru bisa ditarik dari rumusan singkat Wang Hui,

“…that globalization is not a neutral word describing a natural process. It is part of the growth of western capitalism, from the days of colonialism and imperialism.”

…..bahwa globalisasi bukanlah sebuah kata yang netral dalam menjelaskan sebuah proses yang bersifat alamiah. Ia adalah bagian dari pertumbuhan kapitalisme barat, sejak masa kolonialisme dan imperialisme.

Secara tematik, kritik Kiri Baru ini bisa diperas ke dalam beberapa tema: Pertama, menolak ortodoksi ekonomi neoliberal. Saat ini, di lembaga-lembaga perguruan tinggi, komunitas bisnis dan media-media keuangan yang memiliki otonomi besar dari media-media cetak milik pemerintah Cina, paham ekonomi neoklasik menempati posisi arus utama. Dengan demikian, teori ekonomi neoklasik menjadi pilar utama dalam menopang gerak maju reformasi, dengan menyediakan fakta-fakta ilmiah sebagai pendukungnya.

Para anggota Kiri Baru seperti Yang Fan, Zuo Dapei, atau Han De Giang, aktif berkampanye melawan hegemoni aliran neoklasik dan neoliberalisme secara umum. Walaupun demikian, mereka hanya memiliki secuil kesepakatan mengenai teori apa yang seharusnya menggantikan posisi teori ekonomi neoklasik. Yang jelas, sebagian besar dari anggota Kiri Baru ini memiliki hubungan yang kompleks dengan teori Marxis dan tidak mengadvokasikannya untuk menjadi sebuah ortodoksi baru. Walaupun begitu, koalisi antara Kiri Baru dengan mereka yang mendaku sebagai Marxis, secara umum terus berkembang.

Kedua, Kritisisme atas pemindahan besar-besaran aset-aset negara ke tangan swasta. Seperti diketahui, pada tahun 1978, hampir seluruh aset-aset ekonomi Cina dikuasai oleh negara. Kondisi ini memungkinkan pemerintah Cina di bawah Mao, sanggup menciptakan struktur masyarakat yang egaliter sepanjang ribuan tahun sejarah Cina. Tapi kini, terutama setelah pertengahan 1990-an, sebagian besar aset-aset itu telah berpindah ke tangan swasta. Kondisi baru ini menjadikan struktur masyarakat Cina saat ini merupakan salah satu yang paling timpang di dunia.

Struktur ketimpangan yang terus memburuk ini, dengan tepat digambarkan oleh professor Wang Shaoguang,

“The early economic reform, were a positive-sum game, but by the late 1990, economic reform had become a zero-sum game.”

Pada awal reformasi ekonomi, situasinya adalah saling menguntungkan, tapi pada akhir 1990an, reformasi ekonomi telah melahirkan situasi yang saling mematikan.

Ketiga, Menentang konsesi-konsesi yang diberikan Cina sebagai angggota WTO. Bagi pemerintah Cina, menjadi anggota WTO dianggap akan memberikan keuntungan bagi percepatan dan keberlanjutan proses reformasi ekonomi. Tapi di mata Kiri Baru, keanggotaan Cina di WTO hanya merupakan strategi dari kalangan birokrasi dan kelas komprador, untuk memperkuat posisinya dalam struktur masyarakat Cina yang sangat timpang. Salah satu argumen spesifik Kiri Baru, adalah berkaitan dengan perlindungan dan pendewasaan “industri baru” di Cina. Jika pintu investasi asing dibuka lebar, demikian Kiri Baru, maka industri baru di Cina hanya memiliki sedikit pilihan: berkolaborasi dengan perusahaan asing atau jatuh tersungkur. Di samping itu, kebijakan pintu terbuka akan menyebabkan perkembangan teknologi canggih menjadi sangat sulit.

Keempat, Memikirkan kembali sejarah Cina kontemporer. Sejak reformasi digulirkan, rejim Deng melakukan evaluasi besar-besaran terhadap Sejarah Cina pasca 1949. Hasil evaluasi itu menyimpulkan, telah terjadi penyimpangan terhadap penerapan sosialisme berkarakter Cina. Akibatnya, Cina mengalami kemunduran serius di berbagai segi dan dalam beberapa kasus seperti, lompatan jauh ke depan, revolusi kebudayaan, dan sistem komune, menyebabkan horor kemanusiaan luar biasa.

Terhadap interpretasi sejarah pasca 1949 ini, Kiri Baru beranggapan justru di bawah Mao, standar kehidupan rakyat Cina meningkat, angka buta huruf menurun, dan tingkat kematian dini berhasil ditekan. Pertumbuhan ekonomi pun berlangsung cepat. Bahkan, beberapa dari aktivis Kiri Baru menilai pertumbuhan tinggi yang terjadi saat ini dasar-dasarnya telah dibangun pada era Mao. Lebih dari itu, menurut kalangan ini, masalah sosial kronis yang mendera Cina saat ini, solusinya adalah menerapkan kembali inovasi-inovasi organisasi dan kelembagaan yang diciptakan Mao seperti, sistem komune pedesaan, sistem pelayanan kesehatan umum, serta “the Angang Constitution” (yakni, serangkaian prinsip-prinsip manajemen yang diadopsi pada 1960, yang memberikan kesempatan besar pada buruh untuk berpartisipasi dalam manajemen).

Namun demikian, satu hal yang menjadi titik kritis bagi Kiri Baru ketika mengadvokasi era pasca 1949, adalah masalah Revolusi Kebudayaan. Para aktivis Kiri Baru mempunyai beragam tafsir mengenai isu ini. Sebagian menolak dikaitkan dengan isu tersebut, mengingat dampak negatif dari perilaku aparat Red Guard. Sebagian lain mengatakan, Revolusi Kebudayaan itu merupakan antisipasi Mao atas perilaku kader-kader tinggi partai, yang mulai memperlihatkan tanda-tanda sebagai pengikut jalan kapitalis. Bagi kalangan ini, apa yang kini terjadi di Cina merupakan bukti dari kebenaran tesis Mao, sekaligus kegagalan proyek Revolusi Kebudayaan.

Preskripsi

“We have to find an alternate way. This is the great mission of our generation,” ujar Wang Hui.

Mencari jalan alternatif dimaksud mengindikasikan dua hal:

Pertama, hingga kini belum ada satu solusi konkret dan berlaku sebagai model, yang ditawarkan oleh Kiri Baru. Kedua, dengan pernyataan itu, Kiri Baru tidak ingin memutar balik sejarah Cina kembali ke masa pasca 1949.

Kembali mengutip Wang Hui, “Cina terjebak dalam dua ekstrim: penyimpangan sosialisme dan kroni kapitalisme dimana, keduanya menyebabkan Cian terperosok dalam penderitaan.”

Walau demikian, Kiri Baru mengajukan beberapa prinsip sebagai pemandu. Pertama, secara politik Kiri Baru mempromosikan demokrasi substantif. Bagi mereka, demokrasi prosedural yang dipromosikan kalangan liberal jauh dari memadai. Demokrasi substantif dimaksud adalah distribusi kekayaan secara demokratis (democratic distribution of wealth), atau distribusi kekuasaan sosial secara demokratis (democratic distribution of social power).

Kedua, dalam bidang kebijakan, Kiri Baru merekomendasikan agar fokus pembangunan diarahkan pada yang mereka sebut San Nong atau Tiga Nong: Nong Min (petani), Nong Ye (pertanian), dan Nong Cun (komunitas pedesaan). Rekomendasi ini didasarkan pada fakta bahwa petani Cina, yang berjumlah sekitar 786 juta atau 70 persen dari populasi, hanya memperoleh 39 persen dari konsumsi domestik, dan hanya 19 persen darinya yang memiliki rekening pribadi. Sementara itu, lebih dari 50 juta penduduk hidup dalam garis kemiskinan atau bahkan berada di bawah rata-rata pendapatan tahunan pedesaan sebesar $355,-

Dengan fokus pada San Nong, demikian Cui Zhi Yuan, maka garis pembangunan Cina diubah menjadi transisi dari ekonomi yang berbasis pada investasi asing langsung ke ekonomi yang berbasis pertumbuhan organik dan didorong oleh investasi domestik. Perubahan ini dipercaya akan meningkatkan upah lokal dan standar hidup rakyat pedesaan Cina.***

Kepustakaan.

Enoch Caudwell, “China’s New Left,” http://www.chinastudygroup.org

Pankaj Mishra, “China’s New Left call for social alternative,” http://www.iht.com

Jehangir S. Pocha, “Letter From Beijing: China’s New Left,” http://www.thenation.com

Leslie Hook, “The Rise of China’s New Left,” Far Eastern Economic Review,” April 2007.

Negara Bukanlah Kita

Agustus 30, 2008 § Tinggalkan komentar

Tanggapan Untuk Fahmi Panimbang dan Muslimin Abdilla

ARTIKEL saya (lihat di sini), yang merupakan tanggapan terhadap artikel Indrasari Tjandraningsih, telah memperoleh respon berbobot dari Fahmi Panimbang (lihat di sini).Dalam artikelnya itu, Panimbang mengatakan ada masalah yang mendasar dalam cara pandang gerakan sosial terhadap negara. Negara di lihat sebagai entitas di luar kita, sesuatu yang berjarak begitu jauh. Akibatnya, demikian Panimbang, negara yang demikian besar peranannya dalam masa kapitalisme-neoliberal ini, pada akhirnya dikuasai oleh para pebisnis untuk melayani kepentingannya.

Seharusnya, lanjut Panimbang, yang juga diperkuat oleh Abdilla dalam contoh yang lebih konkret (lihat di sini), negara mesti dilihat sebagai bagian dari kita. “Negara adalah Kita,” demikian kredo yang digaungkan Panimbang dan Abdilla.

Dengan kredo seperti ini, gerakan sosial harus bertarung memperebutkan arena negara, untuk kemudian menguasainya dan memanfaatkannya demi sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Hanya dengan cara demikian, penerapan kebijakan neoliberal yang menjelma, antara lain dalam wujud pasar kerja fleksibel, bisa diblok atau bahkan dibatalkan.

Gagasan tentang negara adalah kita ini, tentu saja telah menghela lebih maju perdebatan di kalangan gerakan sosial di Indonesia. Dengan gagasan ini, debat klasik nan mubazir mengenai apakah gerakan sosial itu berwatak developmentalis atau advokasi, partisan atau non-partisan, moral atau politik, tidak lagi relevan.

Kredo ini bukan tanpa “kaki.” Perkembangan terkini gerakan progresif di beberapa bagian lain di dunia, menunjukkan adanya sintesa baru dalam tubuh gerakan progresif. Secara historis tumbuh kesadaran bahwa penghadap-hadapan antara gerakan berwatak partisan atau non-partisan, misalnya, merupakan sesuatu yang secara sengaja didesain oleh pendukung neoliberalisme. Dengan kategorisasi yang antagonistik seperti itu, gerakan anti neoliberal diserang tepat pada cara berpikirnya.

Padahal, kedua kategorisasi gerakan itu tidak mesti dihadap-hadapkan secara diametral. Gerakan progresif memang harus berwatak developmentalis dan advokasi sekaligus, harus merupakan gerakan moral dan juga gerakan politik. Kita mesti berpolitik sembari tetap mengusung nilai-nilai moral. Atau sebaliknya, kita tak bisa terus-menerus berkhotbah tentang kebajikan tapi takut tangannya berlumur lumpur. Seperti dikatakan Joao Pedro Stedile, pemimpin gerakan buruh-tani tak bertanah terbesar di Brazil bahkan di dunia, the Movement of Landless Workers (MST), “setelah kami mengambilalih dan menduduki lahan, kami butuh jaminan hukum atas tanah tersebut tetapi, jaminan hukum itu tak mungkin diberikan oleh pemerintah yang pro-neoliberalisme. Untuk itu, kami harus berpolitik.” Dan seperti yang kita tahu, MST adalah salah satu pendukung terkuat dari pemerintahan Ignacio “Lulu” da Silva, saat ini.

***

Kembali pada kredo “Negara adalah Kita.” Walaupun gagasan ini sangat positif tapi, secara teoritik kredo ini tak bebas kritik. Saya mau meminjam analisa James Petras, Morris Morley, dan Richard Robison dkk, untuk melakukan kritik terhadap kredo “Negara adalah Kita.”

Menurut ketiganya, kita mesti membedakan antara Negara dan rejim. Petras dan Morley, mengatakan, negara adalah lembaga-lembaga politik permanen dalam masyarakat seperti, militer, pengadilan, birokrasi sipil, dan pejabat-pejabat tinggi bank sentral. Menurut mereka, lembaga-lembaga politik permanen ini menyatu dengan sistem kelas yang berkuasa dan secara bersama-sama mereka membentuk “the state.” Dengan pengertian seperti ini, maka formasi negara sebagai produk perkembangan sejarah berakar pada konflik dan bertumbuh dalam formasi sosial tertentu. Dan kata Robison dkk, karena bentuknya mengada dalam konteks hubungan sosial, maka adalah keliru jika kita memandang negara atau aparatus negara sebagai lembaga yang netral.

Sementara itu, rejim adalah elemen-elemen pejabat non-permanen yang menduduki cabang eksekutif dan legislatif. Mereka ini, biasanya, dalam merancang kebijakan berada dalam koridor negara dan kepentingan kelas dominan. Ketika rejim berbeda secara substansial dari negara, krisis muncul ke permukaan – yang biasanya berakhir dengan pergantian rejim melalui kudeta oleh negara. Robison dkk, menambahkan, rejim, adalah tipe-tipe tertentu dari organisasi negara yang mewujud dalam beragam bentuk seperti, demokrasi liberal, demokrasi korporatis, demokrasi oligarki, kediktatoran, fasisme, otoritarianisme korporatis, totalitarianisme, dsb. Sementara, pemerintah adalah legislatif dan cabang-cabang eksekutif dari aparatus negara dan para pejabatnya, partai-partai atau individu-individu yang mengontrolnya.

Indonesia pasca kemerdekaan punya contoh menarik soal ini. Sebagai negara kapitalis, Indonesia pernah dipimpin oleh rejim nasionalis-populis Soekarno. Antara rejim Soekarno dan negara berbeda kepentingan dan karena itu, rejim Soekarno harus ditumbangkan. Pasca itu, rejim Orde Baru (Orba), bergandeng mesra dengan negara, yang oleh Robison, dikatakan, “negara Orba menjadi bagian integral dari perkembangan kapitalisme dan kelas kapitalis Indonesia.” Rejim ini hanya tumbang oleh gerakan rakyat yang masif.

Tetapi, kita lihat, walaupun rejim Orba telah tumbang dan muncul rejim baru hasil pemilu (electoral regime), negara Indonesia tetaplah Negara Kapitalis. Status ini tidak berubah, walaupun rejim elektoral datang silih berganti.

Dengan posisi teoritik seperti ini, konsekuensinya: pertama, kredo “Negara adalah Kita” tidaklah tepat. “Negara” sesungguhnya “Bukanlah Kita,” karena negara teralienasi dari kita. Para pejabat negara tidaklah dipilih melalui hak pilih universal, ia duduk di sana berdasar hak-hak istimewa yang dimilikinya. Kredo ini mempunyai implikasi lebih lanjut namun, bukan kapasitas artikel ini untuk membahasnya.

Kedua, ketika gerakan progresif mencapai sintesa baru, ketika ia memutuskan bertarung untuk memperebutkan arena negara, maka gerakan progresif mengangkat dirinya ke level rejim atau pemerintah. Misalnya, menjadi rejim populis radikal a la Evo Morales di negara Bolivia yang kapitalis, atau bahkan menjadi rejim sosialis-bolivarian a la Hugo Chavez di negara Venezuela yang kapitalis.

Konsekuensi ketiga dari sis teoritik, kita tidak bisa lagi memandang negara sebagai sesuatu yang monolitik. Bahwa seluruh pejabat negara atau juga rejim berkuasa pastilah tukang gebuk pemodal. Ada banyak kepentingan yang bertarung di sana, bergantung pada keseimbangan kekuatan politik. ***

Kepustakaan:

James Petras and Morris Morley, “Latin America In The Time of Cholera Electoral Politics, Market Economics, And Permanent Crisis,” Routledge, NY, 1992.

Richard Robison, et.al, “Southeast Asia in The 1990s Authoritarianism Democracy & Capitalism,” Allen & Unwin, Australia, 1993.

Seri Anggaran Partisipatif 1

Mei 30, 2008 § 2 Komentar

Buah Manis Perdebatan

DALAM beberapa tahun terakhir ini, Amerika Latin telah mengundang perhatian banyak kalangan di seluruh dunia. Kawasan ini tak hanya menjadi objek studi para intelektual, atau sasaran tembak para politisi konservatif dan reaksioner. Tapi, juga menjadi sumber mata air inspirasi bagi kalangan yang dimiskinkan dan dipinggirkan oleh sistem kapitalisme-neoliberal di berbagai belahan dunia.

Menguatnya kembali politik kiri di kawasan itu, merupakan sebab utama Amerika Latin begitu menarik dan inspiratif. Sebuah sistem politik, yang semenjak runtuhnya tembok Berlin, telah divonis mati oleh para pundit (intelektual) liberal dan propagandis berjubah agama. Sehubungan dengan kebangkitan politik kiri, tentu ada banyak hal yang menarik dibincangkan. Dari sudut strategi perjuangan, misalnya, Claudio Katz, seorang ekonom Argentina, mengatakan, ada tiga jalan strategis yang ditempuh gerakan kiri Amerika Latin dalam perjuangan menumbangkan rejim demokrasi-neoliberal: pertama, melalui strategi memenangkan ruang politik dalam struktur demokrasi-neoliberal yang terlembaga. Jalan ini diinspirasikan oleh pengalaman Partai Buruh di Brazil dan Broad Front (Frente Amplio) di Uruguay, yang memenangkan kekuasan dengan cara “memanjat” kekuasaan dari tingkat lokal, ke level provinsi, dan akhirnya level nasional.

Strategi kedua, adalah tandingan dari yang pertama yakni, menolak berpartisipasi dalam sistem elektoral sembari mengedepankan mobilisasi massa. Menurut kalangan ini, sistem elektoral telah menyebabkan gerakan kiri terkooptasi dan terjebak dalam sistem demokrasi-neoliberal. Mereka mencontohkan, bagaimana Partai Buruh akhirnya menjadi sebuah partai yang korup, yang tidak berbeda dengan partai lainnya di Brazil. Atau bagaimana Broad Front, hanya bersikap pasif ketika pemerintahannya tetap menjalankan resep-resep neoliberal.

Jalan ketiga, merupakan kombinasi di antara kedua jalan tersebut. Kalangan ini tidak menolak partisipasi elektoral tapi, tetap mempertahankan metode tindakan langsung melalui mobilisasi massa. Dengan pendekatan ini, ekspresi kekuasaan rakyat – yang mewujud dalam proses-proses revolusioner berkesesuaian dengan kian matangnya kesadaran sosialis yang bergumul dalam arena konstitusional. Metode ini mengambil tempat di Venezuela.

Pertanyaannya, apa hubungan antara Anggaran Partisipatif dengan tiga strategi perjuangan di atas? Kembali ke Claudio Katz, ketika PT memanjat kekuasaannya, tangga yang digunakannya adalah sukses penerapan model Anggaran Partisipatif (AP). Model ini untuk pertama kalinya, diterapkan di kotamadya Porto Alegre, pada 1989. Sukses Porto Alegre, kemudian ditiru oleh kota-kota lain yang dikuasai oleh PT dan aliansinya. Tak lama setelahnya, PT memanjat ke kekuasaan yang lebih tinggi dengan merebut kekuasaan di propinsi Rio Grande do Sul.

****

Tetapi, darimana muncul gagasan untuk menerapkan model Anggaran Partisipatif? Bagaimana ceritanya sehingga gerakan kiri dan progresif di Brazil, memutuskan untuk bertarung dalam gelanggang demokrasi liberal?

Sejak bergerak bebas di masa transisi demokrasi, gerakan kiri di Brazil dihadapkan pada pertanyaan pokok, bagaimana menghubungkan antara kepeloporan dengan pembangunan basis massa. Pertanyaan ini muncul sebagai hasil refleksi perjuangan panjang berhadapan dengan gagalnya proyek pembangunan yang didorong pasar di satu pihak dan kegagalan proyek sosialisme tersentral di pihak lain. Penyebab lain adalah, gagalnya strategi-strategi lokal seperti strategi gerilya bersenjata atau strategi perlawanan kota berhadapan dengan kediktatoran militer.

Refleksi mendalam ini tercemin pada pertarungan antar partai seperti, misalnya, antara Partido Democratico Trabalhista (Democratic Workers Party,PDT) dan Partido Trabhalhista Brasileiro (Brazilian Labour Party), dan antara gereja radikal, serikat-serikat buruh, kristen kiri, gerakan-gerakan sosial, dan kaum Marxis militan (yang beraliran Trotskyst, Castroist, dan Maoist).

Salah satu dari sumber perdebatan itu, bagaimana menghubungkan antara kepeloporan dan basis massa. Selama itu antara kepeloporan dan basis massa adalah dua hal yang dihadapkan secara hitam putih dan saling menegasikan. Sebagian lainnya menganggap antara kepeloporan dan basis massa sebagai suatu yang niscaya kesatuan geraknya. Membangun kepeloporan sekaligus membangun basis massa karena, kepeloporan bermakna persetujuan mayoritas terhadap ide sebuah kelompok dan mengikuti ide kelompok tersebut dalam tindakannya. Mereka yang berkeras membangun kepeloporan menganggap demokrasi borjuis adalah demokrasi palsu yang terus-menerus mengilusi kesadaran massa. Demokrasi borjuis dianggap mengandung cacat bawaan yakni, tak terpecahkannya kontradiksi antara kebebasan sipil versus ketidakadilan ekonomi, sehingga setiap saat demokrasi borjuis pasti melahirkan ledakan sosial. Dalam bingkai tafsir seperti itu, para penganut kepeloporan berpendapat partai harus berisi kader-kader pelopor yang progresif-revolusioner guna mengantisipasi terjadinya ledakan sosial akibat kontradiksi internal yang dikandung oleh demokrasi borjuis. Tujuannya, mendorong krisis tersebut untuk menghasilkan revolusi dan implisit hal itu hanya mungkin dilakukan oleh sebuah organisasi yang menggunakan prinsip kepeloporan. Sebaliknya, ketika krisis semakin parah dan massa mulai bergerak untuk melepaskan energi perlawanannya, tanpa kepemimpinan politik yang teorganisir gerakan massa tersebut hanya akan melahirkan rusuh sosial sehingga menjadi lahan subur bagi kekuatan-kekuatan reaksioner.

Di pihak lain, kalangan yang mendukung pembangunan basis massa berpendapat, demokrasi adalah hal yang prinsipil dalam gerakan kiri. Tanpa pengakuan terhadap demokrasi, sosialisme hanya akan menjadi jargon di tangan elite partai yang berlindung di balik topeng kepeloporan. Ini artinya, demokrasi mesti dilihat sebagai fakta sosial dan fakta politik yang hadir di tengah-tengah massa sedangkan revolusi harus dimaknai sebagai hasil dari persetujuan mayoritas, bukan proyek segelintir orang. Dan konsekuensinya, gerakan kiri harus membangun basis massa sebagai syarat utama berkecimpung secara aktif dalam proses demokrasi. Tanpa basis massa yang kuat, gerakan kiri akan selalu terpinggirkan dalam proses politik yang demokratis. Karena demokrasi pada akhirnya bukan sekadar masalah kepeloporan tapi, juga masalah jumlah suara: seberapa banyak suara yang bisa diraup. Tapi, kelompok ini tidak berhenti pada demokrasi borjuis yang hanya mementingkan formalitas atau prosedural belaka. Lebih dari itu, kelompok ini berpendapat demokrasi justru harus dikembalikan pada maknanya yang hakiki: kekuasaan rakyat.

Ketegangan pemikiran ini pada akhirnya mengkristal pada pembentukan Partido dos Trabalhadores (Workers Party/PT), pada 1980. Tujuan didirikannya PT adalah untuk mengemansipasi kelas pekerja yang membedakannya dengan model lama Stalinisme dan sosial demokrasi. Dalam bahasa Raul Pont, bekas direktur serikat guru dan salah satu pendiri PT, ideologi yang dianut PT adalah Demokrasi Sosialis. Dalam program politiknya, PT memutuskan untuk terlibat dalam proses demokrasi formal dalam pengertian yang eksplisit. Tetapi, PT juga bukan sekadar mesin politik pemilu yang hanya aktif pada musim kampanye tapi, ikut aktif mempromosikan pembangunan lembaga-lembaga politik rakyat sebagai alternatif terhadap negara. Misalnya, dengan membantu mendirikan federasi serikat buruh nasional (CUT), dan kemudian mencalonkan Inacio “Lula” Da Silva, ketua PT sebagai calon presiden pada 1989.

***

Seiring waktu, dengan merosotnya tingkat kesejahteraan rakyat akibat penerapan kebijakan neoliberal, popularitas PT sebagai kekuatan oposisi utama semakin melambung. Pada pertengahan tahun 1980an, PT telah tampil sebagai salah satu kekuatan oposisi yang paling signifikan terhadap sistem demokrasi formal yang dibimbing oleh neoliberalisme. Pada tahun 1988, PT memenangkan pemilu walikota di Porto Alegre, Medianeira Horizonte, dan Belém, tiga daerah kotamadya yang berpenduduk di atas satu jiwa.

Ketika kekuasaan lokal telah di tangan, tiba saatnya untuk menerjemahkan ideal-ideal politik tersebut dalam program yang konkret. Sesungguhnya, saat itu tidak ada yang tahu secara persis, dari mana memulainya. Yang ada barulah semacam gagasan bahwa PT harus menjadikan partisipasi aktif rakyat sebagai salah satu nilai dasar perjuangannya. Seperti dikatakan Raul Pont,

“We didn’t have much idea what they might be. It was very theoritical, because we had no real experience of anything like that in Brazil. But we did say in our programme that we wanted to govern with the population, with the participation of the people, through popular council.”

Kami sebelumnya tidak memiliki gagasan yang pasti. Itu sebenarnya sangat teoritis, karena kami tidak memiliki pengalaman konkret apapun seperti itu di Brazil. Tetapi, kami katakan, dalam program tersebut kami ingin memerintah bersama rakyat, bersama partisipasi rakyat, melalui dewan rakyat.

Di sini yang berlaku adalah metode uji coba. Patok AP baru mulai dicanangkan ketika Olivio Dutra, seorang pegawai bank yang kharismatik, kandidat yang diusung oleh PT bersama aliansi Front Rakyat, terpilih sebagai walikota Porto Alegre pada 1989. Sesaat setelahnya, ia mengundang warga kota untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang investasi-investasi baru di kotanya. Inisiatif Dutra inilah yang kemudian dikenal dengan nama Participatory Budget atau Orcamento Participativo atau Anggaran Partisipatif (AP).

Demikianlah, partisipasi dalam penyusunan anggaran ini menjadi prioritas pertama pemerintahan Olivio Dutra. Bagi para aktivis PT, “Uang adalah Kekuasaan,” sehingga keterbukaan dalam hal anggaran merupakan ujian terbaik bagi pembagian kekuasaan. Dan slogan yang mereka kumandangkan ketika memulai program AP adalah “tolak korupsi, tolak nepotisme, serta memprioritaskan anggaran bagi kebutuhan rakyat miskin dan kelas pekerja.”***

Kepustakaan:

Claudio Katz, “Socialist Strategies in Latin America,” Monthly Review, Vol. 59, No. 4, September 2007.

Coen Husain Pontoh, “Anggaran Partisipaif: Pengalaman Sukses di Porto Alegre, Brazil,” dalam Coen Husain Pontoh (ed.), “Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global,” Resist Book, 2005.

Ian Bruce (edited and tanslated), “The Porto Alegre Alternative Direct Democracy in Action,” Pluto Press, London, 2004.