Gerakan Progresif Dalam Delapan Soal

April 5, 2008 § 6 Komentar

Pengantar

Pembaca sekalian yang budiman, pada Juni lalu, situs weblog IndoPROGRESS berusia satu tahun. Dalam usianya yang masih belajar merangkak itu, tidak kurang dari 150 artikel yang ditulis kalangan progresif di weblog ini.

Ratusan artikel itu mengulas beragam tema dari beragam sudut pandang. Mulai dari masalah globalisasi, militerisme, gerakan perempuan, gerakan buruh, gerakan tani, masalah sosial-budaya, hingga isu-isu internasional. Nah, menyambut satu tahun usianya itu, pada kesempatan ini saya ingin mengajukan semacam rangkuman tentang delapan soal yang dihadapi gerakan progresif di Indonesia. Kedelapan soal ini merupakan abstraksi dan generalisasi dari ratusan artikel yang tampil di IndoPROGRESS. Karena merupakan abstraksi dan generalisasi, kedelapan soal ini tidak menyentuh soal-soal praktis dan konkret yang dihadapi.

Inilah kedelapan soal itu:

Pertama: Pembagian Kerja Internasional yang Timpang

Gerakan progresif di Dunia Ketiga, khususnya di Indonesia, menghadapi kenyataan dimana perekonomian negaranya begitu lemah, kecil, dan tergantung pada perekonomian negara-negara kapitalis maju. Ketergantungan itu secara jelas tampak pada sektor alat-alat produksi: modal, teknologi, harga, pasar, dan rasa. Akibat dari hubungan yang timpang ini, negara-negara Dunia Ketiga tidak bisa melepaskan dirinya dari belenggu keterbelakangan.

Yang menyesakkan, ketergantungan dan keterbelakangan ini, secara sengaja dan sistematis didesain oleh negara-negara kapitalis maju. Artikel Martin Manurung dan Mohammed Ikhwan, dengan sangat jernih menjelaskan bagaimana ketimpangan itu didesain, bagaimana ia bekerja, dan bagaimana dengan struktur yang timpang seperti itu negara-negara kapitalis maju tetap terus menancapkan dominasinya.

Hasilnya, sejarah orde baru dan keturunannya yang bercokol saat ini, gagal dalam meningkatkan standar hidup rakyat yang layak. Kemiskinan, kesenjangan sosial, pelanggaran hak asasi manusia, penetrasi asing, eksploitasi buruh-tani, dan pencaplokan sumberdaya alam, merupakan ciri yang melekat yang membentuk postur Indonesia saat ini. Selain itu, dalam struktur pembagian kerja internasional yang tidak adil ini, kita hanya menjadi pemain yang pasif dalam percaturan ekonomi-politik global. Bahkan, dalam derajat tertentu, sistem ekonomi dan politiknya diarahkan oleh negara-negara kapitalis maju.

Tentu saja, negara-negara kapitalis maju itu bukan sekumpulan negara yang homogen, statis, dan tanpa konflik. Tetapi, secara umum dinamika atau konflik di antara mereka senantiasa berujung pada dilestarikannya sistem pembagian kerja yang timpang itu. Lebih-lebih pasca runtuhnya rejim birokratik-sentralis Uni Sovyet dan negara-negara satelitnya, dinamika yang terjadi di negara-negara kapitalis maju amat bergantung pada dinamika ekonomi-politik Amerika Serikat, sebagai satu-satunya hegemon.

KeduaKeadilan Sosial vs Pertumbuhan Ekonomi

Dalam sistem ekonomi-politik yang kapitalistik-neoliberal saat ini, ketergantungan dan keterbelakangan itu juga terjadi pada level domestik. Terjadi kesenjangan antara sektor jasa, industri, dan pertanian; kesenjangan antara satu pulau dengan pulau lainnya; serta, kesenjangan kota dan desa.

Seturut masalah di atas, gerakan progresif secara organik dituntut untuk mengubah sistem pembagian kerja internasional dan nasional yang timpang itu. Kondisi keterbelakangan dan ketertindasan, sering menjadi senjata ampuh untuk membangun sentimen dan solidaritas gerakan tapi, kondisi itu juga merupakan pemicu banyak kegagalan gerakan progresif dalam membangun kekuatannya.

Mengabaikan kenyataan ini, gerakan progresif akan senantiasa terkungkung dalam lingkaran setan keterbelakangan. Dalam konteks ini, isu sentral gerakan progresif adalah bagaimana mentransformasikan struktur ekonomi-politik yang timpang tersebut, dan mengorientasikannya pada pemenuhan kebutuhan mayoritas. Konkretnya, bagaimana menghapuskan ketergantungan terhadap alat-alat produksi dari luar, dan menciptakan desain ekonomi yang menjamin terwujudnya keadilan sosial. Masalah keadilan sosial ini sangatlah esensial, ia merupakan batu pijak, tujuan, dan tolak ukur keberhasilan gerakan progresif. Itu sebabnya, lebih dari sekadar retorika, yang terutama adalah bagaimana mewujudkannya dalam praktek untuk kemudian melembagakannya sehingga kelak menjadi model pembangunan di luar kuasa kapitalisme-neoliberal.

Dalam isu ini, gerakan progresif berhadapan dengan dua pilihan yang dilematis: keadilan sosial vs pertumbuhan ekonomi. Mungkinkah keadilan sosial diwujudkan tanpa pertumbuhan ekonomi? Mungkinkah keadilan sosial di wujudkan dalam sistem ekonomi yang tertutup? Tak banyak contoh dimana tanpa pertumbuhan ekonomi terwujud keadilan sosial. Apanya yang mau dibagi? Dalam bahasa Michael Gorbachev, hanya pasarlah satu-satunya institusi yang bisa mempercepat pemenuhan kebutuhan rakyat, yang bisa mendistribusikan kemakmuran secara adil, menjamin hak-hak sosial, dan memperkuat kebebasan dan demokrasi. Dogma ini pula yang dianut Cina, yang membuatnya berpaling ke jalan kapitalis.

Tetapi, jika keadilan sosial merupakan hasil dari pertumbuhan ekonomi, artinya lingkaran setan ketergantungan terhadap alat-alat produksi dari luar, dan keterbelakangan tetap lestari. Sebagai contoh, rejim pertumbuhan pastilah membutuhkan investasi (modal, teknologi, dan pasar) yang dikuasai oleh negara-negara kapitalis maju. Dan ini berarti kita terus melekatkan diri pada sistem pembagian kerja yang timpang itu. Salah satu resep yang ditawarkan adalah melakukan pinjaman yang selektif, dimana investasi yang dibutuhkan hanya diperuntukkan pada sektor dimana kita tidak memiliki keahlian untuk mengelolanya, serta pada sektor yang mampu menumbuhkan daya produksi yang tinggi. Tetapi, ini mengandaikan kita memiliki posisi tawar yang setara dengan negara kapitalis maju, sesuatu yang tidak memiliki landasan ekonomi-politik yang nyata.

KetigaLemahnya penguasaan teknik

Dampak lain dari struktur pembagian kerja yang tidak adil itu, adalah terbentuknya struktur masyarakat yang piramid di negara-negara berkembang. Sebagaimana diulas dengan baik oleh Noer Fauzi, dalam kasus Hernando de Soto, segelintir elit yang terdidik, yang memiliki kemampuan teknik, dengan modal yang mencukupi membuatnya sanggup membangun jaringan dan aliansi dengan elit-elit di negara-negara kapitalis maju. Mereka ini menjadi penghubung, penyambung, penyalur, dan pelaksana gagasan dan praktek ekonomi-politik negara-negara kapitalis maju di negara kapitalis terbelakang.

Itu sebabnya, dari kalangan ini sulit diharapkan tumbuh berkembang ide-ide progresif. Bagi mereka, yang progresif itu adalah yang berlangsung di negara-negara kapitalis maju. Jalan kemajuan adalah jalan yang sebelumnya ditempuh oleh negara-negara kapitalis maju. De te fabula narratur. Yang berlawan terhadap jalan itu, identik dengan tradisionalisme, fundamentalisme, reaksioner, dan utopia, yang semuanya itu menyebabkan negara-negara berkembang tetap terkungkung dalam sangkar besi keterbelakangan.

Namun demikian, ada juga sebagian dari kalangan elit terdidik ini yang mampu mengambil jalan berbeda. Tapi, jumlah mereka terlalu kecil dan posisinya berada di pinggiran. Yang paling meresahkan dari struktur masyarakat piramid ini, sebagian besar rakyat hanya menjadi konsumen ide dan produk sosial. Mereka tidak terlibat dalam proses produksi pengetahuan dan keahlian teknik, sehingga akibatnya mereka sangat lemah dalam penguasaan teknik. Keadaan ini merupakan tantangan yang tidak ringan bagi gerakan progresif yakni, ketika struktur dan jaringan kerja semakin canggih dan kompleks.

Keempat, Dominasi Budaya

Lebih dari masa-masa sebelumnya, gerakan progresif saat ini menghadapi serbuan informasi yang sarat kandungan nilai dan sikap budaya negara-negara kapitalis maju. Seperti di ranah ekonomi-politik, di ruang ini negara-negara kapitalis terbelakang hanya menjadi konsumen, dengan daya serap dan imitasi yang tinggi. Bahkan, seperti ditulis Fahmi Panimbang, dominasi budaya ini merupakan hasil kerja yang disengaja, dalam apa yang disebut kebijakan soft power.

Dalam ranah ini, dunia tampak begitu paradoks: dekat dan intim sekaligus berjarak. Antara berita dan propaganda tak terbedakan, fakta dan rumor membaur, sehingga tak lagi jelas apakah realitas yang membentuk persepsi ataukah persepsi yang membentuk realitas. Masalah ini dengan sangat menarik dibahas oleh Yanuar Nugroho, dimana menurutnya, teknologi informasi telah menjadi medium pembentuk kesadaran, pengetahuan, insting, dan bahkan isi suka-duka kita. Secara ideologis Royspeta Abimanyu, mengatakan, serbuan informasi itu telah menyebabkan massa rakyat terbenam dalam kesadaran palsu. Keadaan ini menyebabkan rakyat tidak mengenali lagi kepentingan obyektif kelasnya, dan selanjutnya menghalanginya dalam merepresentasikan dirinya sesuai dengan kepentingan kelasnya.

Iklan restoran waralaba McDonald bernilai milyaran dollar, misalnya, sanggup mengubah citarasa, pola makan, dan gaya hidup mereka yang tinggal di Bekasi. Mereka merasa belum modern jika tidak mencicipi makanan produk McDonald, tak peduli apa yang terjadi di balik pintu makanan cepat saji tersebut. Di sini yang terjadi, realitas dibentuk oleh persepsi.

Dalam konteks ini, muncul pertanyaan “alternatif budaya apa yang ditawarkan gerakan progresif? Adakah model busana, tayangan televisi, pola makan, jenis berita yang progresif?” Ataukah itu semua sesuatu yang netral, bergantung pada siapa yang memiliki dan mengendalikan, sehingga duduk soalnya bukan pada produk tapi pada produser? Gerakan progresif sungguh-sungguh tak bisa mengelak dari masalah ini, jika ingin bersikukuh pada salah satu landasan teoritiknya, “realitas yang membentuk kesadaran.”

KelimaSentralisme dan Demokrasi

Di kalangan gerakan progresif, isu tentang sentralisme dan demokrasi tak ada habis-habisnya dibicarakan. Dalam masyarakat berstruktur piramid, merupakan sebuah khayalan jika seluruh rakyat tertindas bergerak menuntut hak-haknya dan berlawan terhadap keadaan yang menindasnya. Senyatanya, lebih banyak yang pasif ketimbang yang aktif, lebih banyak potensi perlawanan ketimbang aktualitas perlawanan.

Di sisi lain, kapitalisme tidak tampil dalam satu wajah yang tunggal. Ia adalah Rahwana yang Dasamuka. Kapitalisme tidak melulu masalah eksploitasi buruh dengan sistem kerja yang lentur itu. Kapitalisme juga adalah budaya massa yang muncul di televisi, film-film, buku, internet, dsb. Itu sebabnya ia diterima oleh mayoritas yang tertindas dalam wujud yang yang berbeda-beda, dan melahirkan respon yang berbeda-beda pula. Misalnya, ada yang melihat kondisi keterbelakangan kita saat ini sebagai bagian dari konspirasi Yahudi-Kristen-Barat. Maka responnya kemudian adalah membentuk dan memperkuat sentimen dan solidaritas non Yahudi-Kristen-Barat.

Itu sebabnya, kebutuhan akan lokomotif gerakan perlawanan merupakan sesuatu yang niscaya. Biasanya, mereka datang dari lapis masyarakat yang terdidik, yang bergerak berdasarkan dorongan kepentingan mayoritas. Menurut kalangan ini, keresahan rakyat haruslah diorganisasikan, diarahkan, dan dipimpin secara politik, organisasi dan ideologi. Kecuali Komune Paris yang berumur pendek, tidak ada kemenangan yang muncul secara spontan, belum pernah ada ceritanya mayoritas yang berserak-serak memenangkan pertempurannya melawan legiun-legiun kapitalis yang terorganisasikan dengan sangat rapi dan bersenjata. Sejarah revolusi, adalah sejarah yang dipimpin oleh minoritas kalangan terdidik.

Tetapi, dari sini juga berawal pertanyaan tentang bagaimana melibatkan partisipasi masyarakat secara luas, bagaimana agar demokrasi tetap terjaga dan semakin berkembang? Intinya, bagaimana rakyat menjadi penentu atas kehidupannya sendiri. Dari sejarah gerakan progresif sendiri kita belajar, bagaimana lapisan terdidik yang berkesadaran kelas itu pada akhirnya menjadi sekumpulan birokrat dan organisasinya menjadi terbirokratisasi, sehingga menyebabkan sentralisme lebih kuat dan mendominasi demokrasi. Organisasi bukan lagi menjadi wadah artikulasi kepentingan rakyat tapi, menjadi mesin propaganda elite; politik berubah dari jalan rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan; sementara ideologi telah menjadi dogma yang membius ketimbang sebagai pisau analisis yang tajam dalam membedah masalah sosial.

Keenamberlanjutnya politik yang anti-politik

Ketika kita berbicara mengenai keterbelakangan yang menghinggapi bangsa Indonesia, itu tidak hanya bermakna keterbelakangan ekonomi tapi, juga keterbelakangan politik: absennya keterlibatan rakyat dalam proses politik formal, ketiadaan tradisi demokrasi, serta penindasan fisik dan mental terhadap kalangan oposisi.

Represi politik ini, untuk periode waktu tertentu, membuat rejim kediktatoran sukses meredam gejolak sosial melalui politik tangan besi, hegemoni, dan kooptasi. Tapi, di bawah permukaan, polarisasi sosial yang berujung konflik berdarah panas bergejolak, yang kemudian meledak pada masa transisi.

Hasilnya, masa transisi dari kediktatoran menuju demokrasi, berdampak pada eforia politik yang tidak jarang anti politik. Keresahan rakyat sebagai akibat penindasan kediktatoran yang membaur dengan harapan besar akan situasi yang lebih baik di masa transisi, sulit terjembatani. Akibatnya, di masa transisi kita tidak hanya menonton parade aspirasi rakyat yang sadar politik tapi juga, seringkali rakyat menyalurkan aspirasi politiknya dalam bentuk yang anti politik: premanisme dan kekerasan. Di masa transisi ini, rakyat juga sering hanya menjadi obyek kepentingan elite, sekadar menjadi sumber dukungan dan legitimasi kepentingannya. Tulisan Arianto Sangadji, memaparkan sisik-melik keterlibatan elite ini dalam kasus Poso. Pada kasus-kasus tertentu, massa rakyat ini digiring menjadi anti pergerakan progresif.

Kondisi ini menyebabkan rakyat memandang politik sebagai sesuatu yang kotor, najis, yang tidak memberikan keuntungan apapun bagi mereka. Di masa transisi, apatisme yang telah disebar bibitnya sejak masa orde baru, kini tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Apatisme ini membuahkan hasilnya dengan segera, rekonsolidasi kekuatan reaksioner, yang salah satu wujudnya adalah pembodohan massal melalui pelarangan dan pembakaran buku-buku sejarah yang tidak mencantumkan kata PKI pada frasa G30S. Keadaan ini tentu saja menyulitkan pembangunan gerakan progresif, karena tanpa dukungan aktif massa rakyat, gerakan progresif ibarat buih di tengah samudra lepas.

Ketujuhmasalah kekuasaan negara

Dalam soal ini, gerakan progresif di Indonesia terbelah dalam dua kutub besar: pertama,mereka yang menjauh dari negara; dan kedua, mereka yang melihat kekuasaan negara tetap merupakan instrumen yang efektif dalam merealisasikan alternatif-alternatif pemikiran di luar dominasi kapitalisme-neoliberal.

Kalangan pertama berpandangan bahwa, lokus-lokus kekuasaan kini tidak lagi berporos pada dua sisi negara dan pasar tapi, juga menempati wilayah masyarakat sipil. Itu sebabnya, perjuangan untuk merealisasikan gagasan-gagasan alternatif tidak mesti harus melalui instrumen kekuasaan negara, terlebih di era globalisasi saat ini kekuasaan negara telah begitu tergerus bahkan tinggal sebagai penjaga malam. Lebih jauh, mereka berpandangan bahwa negara dalam banyak hal tumbuh menjadi parasit karena wataknya yang birokratis dan militeristik.

Sementara kelompok kedua melihat, dalam masa kapitalisme-neoliberal ini justru peran negara semakin dominan. Tidak pernah ada kebijakan neoliberal – katakanlah kebijakan privatisasi – yang efektif di lapangan tanpa menggunakan instrumen kekuasaan negara. Sebaliknya, tidak ada catatan sejarah yang menunjukkan adanya kekuatan lain di luar negara yang sanggup membatasi pergerakan kapital. Itu sebabnya, menurut kelompok ini, sikap menjauh dari negara tidak banyak membantu dalam memajukan ide dan praktek gerakan progresif. Bahkan, sebaliknya, hanya memberi peluang kepada oligarki kapital untuk secara leluasa beroperasi secara “sah.”

Kedelapanperang dan imperialisme

Masalah lain yang tak kalah pentingnya dihadapai kalangan progresif adalah soal perang dan imperialisme. Sejarah negara-negara pasca kolonial menunjukkan, setiap muncul gagasan-gagasan dan praktek-praktek ekonomi-politik di luar kuasa kapitalisme, selalu berhadapan dengan ancaman boikot, intimidasi, dan agresi dari negara-negara kapitalis maju. Di sini kita secara khusus menyebut Amerika Serikat, sebagai aktor utamanya.

Ancaman perang dan imperialisme ini telah menyebabkan negara-negara yang menerapkan eksperimen alternatif, harus membagi fokus dan konsentrasi kerjanya di antara tuntutan untuk memenuhi tujuan-tujuan progresif yang dicanangkannya (keadilan ekonomi, demokrasi dan partisipasi), dengan tuntutan mendesak untuk mengamankan keberlangsungan rejim baru. Dalam situasi ini, misalnya, prioritas untuk pembangunan ekonomi boleh jadi dikalahkan oleh tuntutan untuk pembangunan angkatan bersenjata yang kuat, guna menghadapi agresi dari luar. Atau, misalnya tuntutan untuk demokratisasi politik dikalahkan oleh kebutuhan untuk mobilisasi dan sentralisasi komando demi menghadapi perang. Insiatif dan aspirasi dari bawah ditundukkan atas nama disiplin dan kesatuan tindakan. Tenaga-tenaga kerja produktif, yang semestinya dikerahkan untuk membangun sentra-sentra ekonomi dan fasilitas kebutuhan publik, harus dikerahkan ke garis depan medan pertempuran.

Inilah misalnya, yang dialami Nikaragua. Seperti yang diulas Coen Husain Pontoh, perang melawan Contra yang didukung penuh AS, menyebabkan rejim progresif Sandinista, harus mengubah prioritas-prioritas dan janji-janji pembangunan yang dicanangkannya di masa-masa awal kepemimpinannya. Akibatnya, legitimasi dan popularitas rejim Sandinista, berangsur-angsur tergerus hingga akhirnya luntur. Bukan hanya akibat perang dan imperialisme tapi, juga akibat ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan fisik rakyat.

Pada masa sekarang ini, seperti ditulis dengan jernih oleh Vedi R. Hadiz, “Perang melawan terorisme” misalnya, telah memengaruhi konstelasi kekuasaan dan kepentingan di banyak negeri Asia, yang berdampak buruk pada kekuatan pendukung demokrasi. Yang menguat belakangan ini, demikian Hadiz, malah sejumlah kepentingan yang justru paling anti-demokrasi di sejumlah negeri Asia. Penguatan itu terjadi, karena keberadaan mereka memenuhi sebagian dari kebutuhan spesifik dari proses globalisasi ekonomi neoliberal pada fase sekarang. Suatu kebutuhan yang sulit dipenuhi sepenuhnya melalui mekanisme pasar semata dan daya ‘pendisplinan’ intrinsik dari modal finansial. Pemenuhan kebutuhan tersebut, semakin memerlukan kebijaksanaan koersif yang terbuka, untuk menjamin akses dan kontrol pada pasar-pasar tertentu serta, sumber daya alam yang semakin langka seperti, minyak.

Perang dan imperialisme juga menyebabkan gerakan progresif harus menempatkan kepentingan semua golongan di atas kepentingan khusus rakyat pekerja. Pada tahap ini, kekaburan program, inkonsistensi tindakan sungguh-sungguh menjadi tantangan yang tidak mudah diatasi.***

Gerakan Progresif dan Pemilu

Maret 17, 2008 § 15 Komentar

dear all,

Satu tahun lagi, pemilihan umum (Pemilu) legislatif akan digelar. Kekuatan-kekuatan politik pro-neoliberal – mulai dari ormas hingga parpol – sibuk berbenah. Eksperimen-eksperimen politiknya menghiasi lembaran media massa nasional, dan juga layar kaca televisi. 

Mulai dari uji coba koalisi, pamer kepedulian, kampanye berbalut isu kemanusiaan, hingga saling gertak sambal. Para aktivis mereka, juga tak kalah sibuk. Mereka berusaha keras meraih simpati publik, dan juga pesan kepada para oligarkhnya, bahwa mereka tidak main-main memenangkan kursi bagi partainya. Bersama partainya, mereka ingin mejadi nomor satu. Karena itu, mereka ingin rakyat tahu bahwa mereka siap bertarung. Mereka juga ingin rakyat tahu, bahwa mereka pantas untuk dipilih, pantas untuk diijadikan kendaraan bagi amanah kepentingan rakyat.

Kita tentu, bisa mencibir apa yang dilakukan oleh mereka, bahwa  yang mereka lakukan itu dusta belaka, bohong besar, manis di bibir pahit di kaki. Ujung-ujungnya rakyat kembali dikhianati, ujung-ujungnya adalah kepentingan perut masing-masing. Setelah menang, rakyat ditendang, pada masa pemilu suara rakyat adalah suara tuhan, pasca pemilu suara rakyat adalah suara setan.

Lantas, apa yang diperbuat oleh gerakan progesif dalam momen pemilu? Pengalaman sebelumnya menunjukkan, yang dilakukan oleh gerakan progresif adalah melakukan “pendidikan politik.” Saya tidak akan berbicara soal apa isi materi dalam program pendidikan politik itu. Saya mengambil jalan pintas saja, bahwa mereka harus benar-benar yakin bahwa partai yang dipilihnya betul-betul sudah terbukti mewakili kepentingannya.

Lantas, jika rakyat sadar bahwa ternyata tidak ada satupun partai yang mewakili kepentingannya (dan dengan konfigurasi parpol saat ini, kenyataannya semuanya pro-neoliberal), apa yang harus dilakukan oleh gerakan progresif? Menganjurkan rakyat untuk golput? Memilih sesuai hati nurani? Bikin parpol sendiri? Ikut parpol yang ada dan pengaruhi dari dalam? Bikin bargaining position dengan parpol yang menang pemilu? Pilih pemipim yang baik dari yang terburuk? Kalau dalam pemilu presiden atau bupati, walikota dan gubernur, ajukan calon independen?

Sebelum menjawab soal ini, gerakan progresif harus memiliki sikap  yang jernih dalam memandang momen pemilu. Ini sangat penting, karena tidak ada peristiwa politik yang paling bisa memicu keterlibatan rakyat yang luas di dalamnya, selain momentum pemilu. Bahkan, di negara dengan rakyat yang paling apatis dan paling sinis pada politik, seperti AS, momen pemilu selalu merupakan momen dimana rakyat memiliki antusias yang tinggi terhadap politik. Lebih dari itu, tidak pernah ada dalam sejarah dimana revolusi muncul dalam sistem politik yang terbuka. Dalam sistem politik terbuka, yang paling banyak terjadi adalah kudeta yang dilakukan oleh militer. Mungkin itu sebabnya, ketika dalam satu kesempatan Fidel Castro, mengatakan, “saat ini jaman telah berubah. Kita tidak bisa lagi mencontoh Bolshevisme, juga tidak Castroisme.”

Pemilu memang selalu mendatangkan dilema. Lebih-lebih jika pemilu itu dikuasai oleh kekuatan oligarki pro-neoliberal, seperti Indonesia saat ini. Di satu pihak ini merupakan momen politik yang dituntut oleh kekuatan progresif ketika berjuang melawan kediktatoran, di sisi lain jika saat ini menceburkan diri ke dalam momen ini, berarti harus bersedia ikut aturan main demokrasi neoliberal. Dan itu berbahaya. Ibarat pepatah, keluar dari mulut harimau tapi, masuk kemulut buaya.  Tetapi, jika tidak ikut di dalamnya, lantas apa makna dari tuntutan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata itu? Apakah itu sekadar taktik untuk meruntuhkan kediktatoran belaka? Jika tidak ikut bertarung saat ini, alternatif apa yang kita sodorkan pada rakyat untuk mengelola mekanisme kekuasaan?

Dalam pemilu untuk memilih presiden, bupati, walikotan dan gubernur, sebagian gerakan progresif mengajukan solusi calon independen. Okelah solusi ini benar pada satu langkah yakni, ketika berhadapan dengan calon yang diusung oleh oligarki. Mari berasumsi, bahwa calon independen kita unggul dalam pemilu tapi, pertarungan belum selesai. Calon independen ini berhadapan dengan birokrasi rejim yang kolot, juga parpol yang menduduki parlemen, dan jangan lupa, militer. Bisa dipastikan, langkah sang pemimpin independen ini sangatlah berat. Belum lagi, bagaimana membangun mekanisme kontrol dari gerakan progresif terhadap pemimpin independen ini. 

Tetapi, untuk pemilu legislatif, kecuali golput yang efektif pada masa kediktatoran, belum tampak sikap yang jelas. Gerakan progresif masih adem-ayem. Pertanda dilema itu masih mencengkeram, seperti dongeng Pedang Damocles? Atau sudah terjadi diskusi dan kemudian melahirkan perpecahan internal?***

Paradoks Kebebasan Individu

November 28, 2007 § 9 Komentar

Pengalaman Cina

HIDUP bebas dari ancaman ketidakpastian, ketakutan, agresi, kemiskinan, dan ketidakadilan, adalah impian semua orang. Menjadi bebas, adalah tujuan tertinggi dari seluruh pergulatan pemikiran dan ideologi di berbagai belahan dunia. Kata Karl Marx, kebebasan seseorang merupakan prasyarat bagi kebebasan orang lain.

Perdebatan dan perbedaan baru timbul, ketika muncul kebutuhan untuk merealisasikan impian tentang kebebasan itu di masyarakat. Pada titik tertentu, gagasan kebebasan yang satu dianggap menghancurkan gagasan kebebasan yang lain; pada derajat yang lain beragam definisi kebebasan itu saling beriringan, untuk kemudian mengucapkan salam perpisahan. Ini baru sebatas moral politik, belum lagi menjumput perbincangan praktek politik.

Ini juga yang terjadi di Cina. Beriringan dengan kebangkitan ekonomi pasar sejak 1978, pelan tapi pasti, wacana tentang kebebasan muncul ke permukaan. Diskusi-diskusi politik dan ideologi yang terbuka mulai bermunculan, khususnya di kampus-kampus utama Cina. Sebagian kalangan mengatakan, kebebasan berbicara ini merupakan anak kandung reformasi ekonomi.

Dengan makin terkonsolidasinya sistem ekonomi pasar, tuntutan akan demokratisasi sistem politik ikut membuncah. Suara-suara yang menuntut desentralisasi kekuasaan negara dan Partai, berjalannya mekanisme checks and balances, pemisahan kekuasaan yang tegas di antara tiga cabang kekuasaan, penegakan dan penghormatan terhadap HAM, supremasi hukum, dan kebebasan pers, makin lama makin nyaring terdengar. Di satu sisi, tuntutan akan demokratisasi sistem politik ini, dianggap sebagai jawaban agar tragedi kemanusiaan masa rejim Mao Zedong, tidak terulang lagi. Di sisi lain, kalangan liberal yang diuntungkan oleh reformasi ekonomi memandang, reformasi ekonomi yang tengah digalakkan tidak akan membawa lebih jauh rakyat Cina ke kemakmuran, jika tidak dilakukan reformasi politik

Puncak dari tuntutan akan kebebasan ini, meledak pada Protes Tiananmen Square, 1989. Dalam Peristiwa yang juga dikenal dengan nama Gerakan 4 Juni itu, ratusan ribu massa yang dimotori gerakan mahasiswa, menuntut agar pemerintah segera melakukan reformasi sistem politik yang mendasar. Dan seperti yang telah kita tahu, demonstrasi massal ini dibubarkan dengan sangat brutal oleh Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) Cina.

Generasi baru kaum liberal

Pasca Gerakan 4 Juni, ruang kebebasan serta-merta tertutup rapat. Diskusi-diskusi politik dan ideologi, seketika lenyap ditelan angin malam. Sementara, posisi negara dan partai semakin dominan, melebihi periode awal ketika reformasi ekonomi baru dicanangkan.

Tetapi, jika iklim politik begitu pekat, tidak demikian di wilayah ekonomi. Komitmen pemerintah dan birokrat partai terhadap reformasi ekonomi tak ikut surut. Bahkan makin menguat, terutama setelah kunjungan bersejarah Deng Xiaoping ke zona ekonomi khusus di Shenzen. Selama kunjungan tersebut, Deng melontarkan mantra paling terkenalnya, “as long as it makes money it is good for China,” yang kemudian memacu cepat roda perekonomian Cina.

Privatisasi besar-besaran pun tak terelakkan, disusul dengan banjir investasi asing. Ekonomi bertumbuh sangat pesat, disertai gaya hidup mewah dan kosmopolit lapisan elit perkotaan. Pada masa-masa ini, literatur dan figur intelektual seperti Friedrich von Hayek dan Milton Friedman yang mengampanyekan ideologi liberalisme ekstrim (John Gray dalam “Two Faces of Liberalism,” menyebutnya sebagai Libertarian Legalist), laris-manis bak kacang goreng. Hayek dan Friedman menjadi nabi baru, di kampus-kampus utama Cina. Dominasi teori-teori liberal – di Cina istilah liberal dan libertarian digunakan saling bergantian yang diikat oleh kata liberalisme – ini begitu kuat, tidak hanya di kampus-kampus utama Cina tapi, lebih-lebih di kalangan atas pemerintahan dan partai.

Pada masa-masa ini, seperti ditulis Liu Xin, terjadi refleksi mendalam mengenai sejauh mana batas intervensi negara terhadap masyarakat di kalangan kaum liberal Cina. Mengambil saripati pemikiran Hayek, berbeda dengan kalangan liberal pra Gerakan 4 Juni, kalangan liberal kali ini melihat bahwa demokrasi dikatakan eksis sejauh ia mengantarkan kita kepada kebebasan individual. Jika tujuan tertinggi ini tidak bisa direalisasikan atau jika gerakan demokrasi tidak sanggup merealisasikan kebebasan individu, demikian Liu Xin, tuntutan akan demokrasi menjadi sesuatu yang tidak bisa dibenarkan.

Bagi kalangan ini, kebebasan individual adalah mutlak dan menjadi tujuan tertinggi, karena karena individu merupakan pencipta dan pembawa pesan kemanusiaan, dan seturut dengannya, kebebasan individual merupakan fondasi untuk menjelaskan dan melindungi nilai-nilai yang lain seperti persamaan dan keadilan, atau sebagai senjata untuk menghancurkan nilai-nilai yang lain semacam nilai-nilai komunitas dan nasionalisme. Mereka menginterpretasikan persamaan sebagai persamaan untuk bebas dari intervensi dan juga menafsirkan keadilan sebagai murni prosedural ketimbang keadilan substantif. Dengan demikian, mereka skeptis dengan gagasan tentang nilai-nilai kebaikan umum atau segala wujud gerakan nasionalis. Mereka menolak sebuah gagasan atau ideal yang sempurna, karena sesuatu yang sempurna seperti sosialisme, cenderung membawa manusia kepada “the road of serfdorm.”

Soalnya kemudian, dalam kondisi apa realisasi kebebasan individual ini bisa terjadi? Jawabannya adalah pada masyarakat sipil yang kuat serta pengakuan akan kepemilikan pribadi. Sejarawan Jerry Z. Muller, ketika membahas pemikiran Hegel mengatakan, masyarakat sipil adalah wilayah atau domain dimana setiap orang bertindak untuk memuaskan kepentingannya individualnya. Diri mereka dan propertinya dilindungi oleh undang-undang, dan hubungan di antara individu ini, berdasarkan pada interaksi mereka di pasar untuk memenuhi apa yang mereka inginkan.

Dari proposisi ini, tersurat bahwa masyarakat sipil dan pengakuan akan kepemilikan pribadi, hanya bisa diwujudkan jika intervensi negara dalam urusan publik semakin minimal. Kembali mengutip Hayek, setiap bentuk intervensi dan regulasi pemerintah dalam pasar, adalah akar soal munculnya sistem pemerintahan totalitarian, entah dalam wujud fasisme, Naziisme, maupun komunisme (kini kita bisa tambahkan fundamentalisme agama). Bagi Hayek, intervensi dan regulasi itu tidak hanya menyebabkan hilangnya kebebasan ekonomi tapi, juga kebebasan politik dan sipil, dan kebebasan individual.

Dalam konteks Cina, dititik inilah paradoks itu berkecambah. Pada satu sisi, kalangan liberal ini diuntungkan oleh berkah pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh percepatan ekonomi pasar yang disponsori dan dikawal dengan ketat oleh negara. Di sini, mereka mendukung penuh kebijakan negara untuk menswastanisasi perusahaan publik, mendesentralisasi pengambilan keputusan di tingkat regional berkaitan dengan masalah ekonomi, memperkuat kepemilikan pribadi, dengan tujuan untuk mengeliminasi warisan sosialisme a la Mao. Selain itu, mereka percaya bahwa hanya melalui kompetisi bebas di pasar, masyarakat Cina akan bisa mengeliminasi segala bentuk ancaman dari totalitarianisme.

Tetapi, jika pada sisi ekonomi mereka mendukung bahkan melekatkan dirinya pada aparatus negara dan partai, tidak demikian di sisi politik. Di wilayah ini mereka melakukan kritik terhadap sistem politik Cina yang dinilainya totaliter, karena tidak memberikan ruang yang lebih pada terealisasinya kebebasan individual. Artinya, kebebasan individual selain mensyaratkan kompetisi bebas di pasar, juga membutuhkan syarat lain yakni, posisi negara yang netral. Itulah sebabnya, kalangan liberal menghendaki agar ada tembok pembatas yang jelas antara negara dan masyarakat sipil, karena hanya dengan demikian kebebasan individu bisa direalisasikan.

Namun, ketika tembok itu ditegakkan, pada saat yang sama kelompok ini menghancurkan tembok tersebut, demi bekerja dan eksisnya mekanisme pasar. Dalam kasus Cina, pemberlakuan kebijakan neoliberal secara agresif, telah menyebabkan pembelahan masyarakat yang sangat tajam. Seiring dengannya, kritik dan protes massa makin tinggi dan berlangsung di hampir seluruh negeri. Protes yang sebenarnya merupakan anak kandung neoliberalisme ini, kemudian dibungkam dengan kekerasan oleh negara. Tindakan mana, tidak mendapat kritik dan kecaman dari kalangan liberal Cina. Bahkan, pada derajat tertentu, mereka mengamini tindak penyalahgunaan kekuasaan itu.

Mengapa paradoks ini muncul? Kembali kepada Liu Xin, ia mengatakan, asumsi yang ditransfer dari pengalaman liberalisme di Barat tidak memperoleh pembuktian di Cina. Di negara tirai bambu itu, mekanisme pasar yang bekerja di bawah todongan senapan terbukti tidak memperkuat kedudukan masyarakat sipil, dan juga tidak memperlemah kekuasaan negara. Sehingga pada akhirnya, garis demarkasi antara negara dan masyarakat dan transisi dari nilai-nilai otoritarian menjadi nilai-nilai liberal, sama sekali tidak terwujud.

Alih-alih terbentang garis demarkasi antara negara dan masyarakat, Cina kontemporer menunjukkan telah terjadi garis persinggungan dan persilangan antara negara dan masyarakat yang jauh lebih parah ketimbang di masa kepemimpinan Mao. Sebelum era reformasi, masyarakat menjadi arena bagi pelaksanaan kebijakan ekonomi terencana yang dipromosikan negara. Kini, masyarakat menjadi arena dimana aparat di seluruh tingkatan memberikan dukungan penuh bagi bekerjanya ekonomi pasar dan menangguk keuntungan darinya. Akibatnya, pemerintah dan pengusaha secara perlahan-lahan membentuk hubungan yang saling menguntungkan, dimana masalah korupsi, misalnya, makin parah dan usaha pemberantasannya pun makin sulit. Inilah kata Robert Weil,

“This unification in China between the realms of economy and politics is nowhere better illustrated than in the powerfull role in “business” played by top government and party leaders, and especially their family members, who use their official positions for personal benefit.

Di Cina, tidak ada ilustrasi yang lebih baik untuk menggambarkan persatuan antara wilayah ekonomi dan politik selain peran yang sangat besar dalam “bisnis,” yang dilakukan oleh pimpinan puncak pemerintah dan partai, khususnya anggota keluarga mereka, dengan memanfaatkan kedudukannya untuk kepentingan pribadinya.”

Demikianlah, sementara jurang kaya-miskin makin lebar, gagasan tentang kebebasan individu makin terjebak pada kondisinya yang paradoksal. ***

Kepustakaan:

John Gray, “Two Faces of Liberalism,” The New Press, NY, 2000.

Jerry Z. Muller, “The Mind and The Market Capitalism in Modern European Thought,” Alfred A. Knopf, NY, 2002.

Liu Xin, “Context and Issues of Contemporary Political Philosophy in China,” (2003), http://www.confuchina.com.

Robert Weil, “Red Cat White Cat Cina and the Contradictions of ‘Market Socialism,” Monthly Review Press, 1996.