Berburu Investasi, Kasus Cina

Mei 5, 2008 § 18 Komentar

SEJAK gong reformasi ditabuh Deng Xiaoping pada 1978, ekonomi Cina bertumbuh secara fantastis. Lebih mencengangkan, pertumbuhan tinggi itu berlangsung relatif stabil. Laporan organisasi buruh internasional (International Labor Organization/ILO) pada 2005, menyebutkan, “antara 1990 dan 2002, tingkat pertumbuhan per kapita GDP sebesar 8.3 persen per tahun.”

Menurut Martin Hans-Lansdberg dan Paul Burkett, tingkat pertumbuhan yang sangat fenomenal itu, disebabkan oleh berlangsungnya revolusi industri di Cina, yang menjadikan Cina sebagai pabrik manufaktur terbesar di Asia, bahkan di dunia. Fakta ini pula yang menyebabkan Cina menjadi rujukan banyak kalangan sebagai model pembangunan bagi Dunia Ketiga.

Tetapi, apa sebenarnya yang terjadi di balik revolusi industri tersebut? Kembali mengutip Landsberg dan Burkett, disingkirkannya campur tangan negara dalam pasar sembari menempatkan kekuatan pasar di atas mekanisme perencanaan; diutamakannya produksi swasta di atas produksi negara; dan, diistimewakannya perusahaan asing di atas perusahaan domestik, merupakan peristiwa yang diabaikan oleh banyak pengamat masalah Cina. Padahal, keadaan di atas telah menyebabkan terjadinya dua konsekuensi: pertama, aktivitas ekonomi Cina menjadi sangat didominasi oleh perusahaan-perusahaan transnasional; konsekuensi kedua, pertumbuhan ekonomi Cina menjadi sangat tergantung pada produksi barang untuk kepentingan ekspor. Saya akan coba mengelaborasi satu persatu kedua konsekuensi ini.

Di Kontrol Asing

Berbondong-bondongnya investasi asing masuk ke Cina, menurut Eva Cheng, analisis ekonomi-politik Cina yang berbasis di Australia, mengalami percepatan terutama pada paruh kedua dekade 1990an. Merujuk pada bukunya Martin Hans-Lansberg dan Paul Burket, China and Socialism, sejak tahun 1991 hingga kini, reformasi Cina telah memasuki tahapan yang ketiga. Pada tahapan ini, khususnya sejak akhir 1994, pemerintah Cina menggalakkan program privatisasi besar-besaran, di bawah payung slogan “grasp the big enliven the small (pegang yang besar, dukung yang kecil).”

Alasan utama di balik program ini, perusahaan swasta secara inheren jauh lebih efisien dibanding perusahaan milik negara. Sebabnya, perusahaan swasta beroperasi berdasarkan aktivitas menumpuk uang di pasar, sementara perusahaan publik beroperasi atas dasar kepentingan politik. Kompetisi dianggap menyebabkan para pemilik dan manajer harus bertindak rasional. Tentu saja kita mahfum, alasan ini diadopsi dari kalangan neoliberal.

Hasil dari proyek reformasi tahap ketiga ini, memang luar biasa. Cina muncul sebagai sebuah kekuatan ekonomi baru, dan merupakan negara berkembang yang paling besar menerima investasi asing. Sebagai contoh, jika pada 1985 investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) tahunan yang mengalir ke Cina hanya mncapai $1 miliar maka pada 2002, jumlah tersebut menembus angka lebih dari $50 miliar. Bahkan, ketika FDI bergerak lambat pada 2001 dan 2002, arus masuk investasi asing ke Cina tetap meluas. Menurut catatan presiden Cina, Hu Jintao, pemerintahnya telah menyetujui 590 ribu investasi perusahaan aisng dan telah memanfaatkan $700 miliar investasi asing dalam menggerakkan mesin perekonomiannya, sejak keterbukaan dimulai 29 tahun silam.

Dan sinilah soalnya, gemerlap lampu kota telah membuat banyak orang silau. Padahal, bersamaan dengan arus pasang investasi asing itu, dominasi kapital asing tak terelakkan. Sebuah studi dari Beijing’s Communication University, pada 2004 melaporkan, tiga perempat dari seluruh industri di Cina, dikuasai oleh kapital asing. Temuan ini diperkuat oleh laporan dari the State Council pada 2006, bahwa lima besar dari seluruh perusahaan terbesar di semua sektor industri, dikontrol oleh kapital asing. Selain itu, 21 dari 28 industri terpenting sebagian besar aset-asetnya dikontrol oleh kapital asing.

Secara sektoral, dalam pengertian shareholding, dominasi kapital asing makin tampak. Menurut studi tersebut, di sektor pertanian, peternakan dan perikanan, kapital asing mendominasi 82 persen; pertambangan, 67 persen; manufaktur 77 persen; listrik, bahan bakar gas, produksi dan penyaluran air, 56 persen; konstruksi, 66 persen; transportasi, pergudangan, dan pegiriman, 76 persen; telekomunikasi, kalkulator dan perangkat lunak, 77 persen; retail dan grosir, 77 persen; akomodasi dan restoran, 70 persen; keuangan 66 persen; perumahan, 78 persen; penyewaan dan pelayanan komersial, 81 persen; studi-studi keilmuan, pelayanan teknik, dan studi-studi geologi, 82 persen; pengairan, 66 persen; lingkungan dan manajemen infrastruktur publik, 66 persen; pelayanan bagi penduduk tetap dan pelayanan-pelayanan lainnya, 75 persen; pendidikan 64 persen; kesehatan publik, jaminan sosial, dan kesejahteraan sosial, 69 persen; fasilitas hiburan, olahraga, dan budaya, 78 persen; dan serbaneka industri lainnya, 88 persen.

Sementara dalam pengertian penguasaan pasar, dalam periode yang sama, di sektor komunikasi, kalkulator, dan industri yang berkaitan dengan elektronika, dominasi asing mencapai 82 persen; produk-produk instrumentasi, budaya, dan mesin kantor, 72 persen; topi, kaos kaki, dan ornamen-ornamen tekstil, 48 persen; industri kulit, bulu binatang, bulu ayam dan industri yang berhubungan, 49 persen; furnitur, 51 persen; produk-produk olah-raga dan pendidikan, 60 persen; industri plastik, 41 persen; dan pengadaan transportasi, 42 persen.

Tergantung Asing

Kuasa asing yang besar atas industri Cina, tampaknya berhubungan positif dengan pasar luar negeri. Lebih jelasnya, kontrol kepemilikan yang besar itu menyebabkan ekonomi Cina sangat terintegrasi sekaligus tergantung pada dinamika pasar internasional khususnya, pasar Amerika Serikat.

Sebagai contoh, sekitar 46 persen barang-barang manufaktur yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan asing ditujukan untuk ekspor. Bandingkan dengan produksi perusahaan domestik yang hanya mencapai 16 persen. Hasilnya, perusahaan –perusahaan asing mendominasi aktivitas ekspor Cina, dimana share-nya meningkat dari dua persen pada 1985 menjadi 30 persen pada 1995 dan 57 persen pada 2004. Akibat selanjutnya, rasio ekspor terhadap GDP meningkat dari 16 persen pada 1990 menjadi 30 persen pada 2003.

Ketergantungan yang besar terhadap perusahaan asing ini, bisa dilihat pada sektor barang-barang eletronik dan teknologi informasi. Sebagaimana diketahui, Cina dikenal sebagai produser dan eksportir terbesar barang-barang elektronik dan teknologi informasi. Diperkirakan, sektor ini menyumbang sebesar 28 persen dari total ekspor Cina. Menurut laporan organisasi kerjasama dan pembangunan (OECD) pada 2006, Cina kini telah melangkahi posisi AS sebagai penyuplai terbesar barang-barang teknologi informasi.

Tetapi, menurut Landsberg dan Burkett, angka-angka ini bisa membuat kita tersesat. Salah satu alasannya, demikian kedua ekonom ini mengatakan, produk-produk elektronik dan teknologi informasi yang menjadi andalan ekspor itu secara umum mengandung muatan teknologi yang sangat rendah. Sebagai contoh, ekspor teknologi tinggi Cina, adalah barang-barang elektronik, pengadaan kantor dan komputer, serta pengadaan alat-alat komunikasi. Di dalam kategori ini, produk andalan Cina adalah DVD players, komputer laptop, dan handphone.

Celakanya, produk-produk ini sangat tinggi muatan komponen impornya. Nilai tambah lokal dari nilai produk-produk ekspor ini, hanya mencapai 15 persen, sisanya adalan muatan impor. Dengan kata lain, ekspor produk teknologi tinggi Cina, sangat tergantung pada teknologi impor. Bagaimana ini bisa terjadi. Mari kita kembali ke soal kepemilikan.

Masih di sektor andalan Cina ini, data tahun 2003 menunjukkan, perusahaan investasi asing tercatat mendominasi hampir 90 persen ekspor komputer beserta komponen-komponennya, ditambah 75 persen ekspor pengadaan elektronik dan telekomunikasi. Lebih dari itu, sebagaimana direkam oleh kementrian informasi industri, dominasi asing di sektor industri informasi dan elektronik ini terus meningkat. Dari 58.7 persen pada 2000 menjadi 77.4 persen pada 2005. Dan pada dua bulan pertama tahun 2006, perusahaan asing bertanggung jawab atas 86.9 persen total ekspor produk-produk elektronik Cina. ***

Kepustakaan:

Eva Cheng, “China: Foreign capital controls three-quarters of industry,” http://www.greenleft.org.au/2007/710/36857, 23 May 2007.

Martin Hans-Landsberg and Paul Burkett, China and Socialism Market Reforms and Class Struggle,” Monthly Review Press, NY, 2005.

—–, China, Capitalist Accumulation, and Labor,” Monthly Review, Vol. 59 No. 1, May 2007.

Luan Shanglin, March 25 2007 , “Hu reassures foreign investors of more opportunities,” http://news.xinhuanet.com/english/2007-03/25/content_5895036.htm

Masih Efektifkah Negara Budiman?

April 26, 2008 § 4 Komentar

Tanggapan untuk Indrasari Tjandraningsih

DUA artikel dari Indrasari Tjandraningsih, yang secara khusus membahas soal pasar kerja fleksibel (di sini dan di sini), menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Paling tidak, ada dua hal yang membuatnya menarik. Pertama, Tjandraningsih dengan jernih menunjukkan sisi-sisi buruk dari pasar kerja fleksibel; dan kedua, menurut Tjandraningsih, untuk mengatasi dampak negatif dari penerapan kebijakan pasar kerja fleksibel tersebut, peran negara sangatlah penting.

Tulisan kali ini, hendak menyoroti peran negara yang diadvokasikan oleh Tjandraningsih. Dalam artikel yang ditulis bersama Hari Nugroho, Tjandranigsih mengatakan, ada empat tugas penting negara sehubungan dengan masalah pasar kerja fleksibel: pertama, negara perlu merumuskan dengan jelas dan tegas sejauh mana tingkat fleksibilitas pasar yang aman bagi kondisi angkatan kerja dan pasar kerja yang ada; kedua, merumuskan sebuah kebijakan pasar kerja yang terintegrasi dengan institusi-institusi dan kebijakan sektor lain: kebijakan industrialisasi, kebijakan pengembangan sumber daya manusia, kebijakan pengurangan kemiskinan yang multisektoral, maupun tata kelola sistem pemerintahan, yang sangat diperlukan untuk menghadapi perubahan sistem pasar kerja maupun bekerjanya pasar kerja fleksibel yang menjamin keamanan kondisi sosial ekonomi buruh; ketiga, menegakkan hukum karena kebijakan pasar kerja fleksibel tetap akan memberikan konsekuensi yang merugikan buruh; dan keempat, merumuskan sistem jaminan sosial yang memadai.

Global Social Democracy

Dari empat tugas yang dibebankan kepada negara tersebut, secara tersurat kita melihat posisi teoritik dari Tjandraningsih. Pada dasarnya, Tjandraningsih tidak menolak penerapan kebijakan pasar kerja fleksibel. Yang ditolaknya adalah ketika kebijakan itu diterapkan di atas asumsi cateris paribus, karena hanya akan melahirkan serentetan efek negatif bagi buruh. Karena itu, menurut Tjandraningsih, yang perlu dilakukan adalah mengatasi dampak buruk dari penerapan kebijakan pasar kerja fleksibel tersebut.

Posisi ini, menurut saya, bertolak dari sebuah pendekatan, yang oleh intelektual-cum aktivis Walden Bello, sebut sebagai aliran global social democracy. Pendekatan ini dikampanyekan antara lain oleh ekonom Jeffrey Sach, sosiolog David Held dan Martin Shaw, serta pemenang nobel ekonomi Joseph Stiglitz, dan organisasi LSM seperti OXFAM, yang berbasis di Inggris. Masih menurut Bello, aliran ini mengakui bahwa neoliberalisme berpotensi besar untuk mendatangkan kerugian bagi mayoritas rakyat, sembari melihat bahwa kalangan anti-globalisasi sebagai teman seperjuangan dalam mengatasi dampak buruk neoliberalisme. Tetapi, pada dasarnya, pendekatan ini melihat globalisasi-neoliberal sebagai sesuatu yang tidak terelakkan. Jika dikelola dengan baik, akan membawa mayoritas rakyat pada tanah kemakmuran yang telah dijanjikan.

Oleh karena itu, isu-isu yang diusung oleh pendekatan ini hampir tidak berbeda dengan isu-isu yang dipanggul oleh kalangan anti-globalisasi. Kelompok global social democracy ini, menuntut agar ada perubahan mendasar di lembaga-lembaga pengelola aturan main global semacam IMF, WTO, dan hak kepemilikan intelektual (TRIPs). David Held, misalnya, menyerukan agar dilakukan reform, atau lebih tegas lagi, penghapusan kesepakatan mengenai TRIPs; sementara Stiglitz menyerukan agar negara-negara maju seharusnya membuka pasar mereka kepada negara-negara miskin tanpa imbal beli saling menguntungkan atau persyaratan-persyaratan ekonomi dan politik. Sedangkan Shaw mengusulkan agar (a) dilakukannya penghapusan terhadap sebagian besar elemen-elemen dasar kemiskinan dalam sebuah kerangka waktu yang serius: (b) pelembagaan kerangka kerja kesejahteraan sosial global (lebih dari sekadar “bantuan”) dan mencari sumber-sumber untuk pemenuhannya; (c) pelembagaan kerangka kerja global mobilitas kerja, melekatkan dan mendukung hak-hak untuk berpindah; dan (d) membangun rejim lingkungan global, khususnya dimasukkannya ukuran-ukuran konktret dalam perlindungan mayoritas rakyat yang lemah dari dampak-dampak perubahan iklim yang menghancurkan seperti, banjir dan kekeringan.

Tujuan akhir dari pendekatan ini, demikian Bello, bukan untuk menolak keberadaan globalisasi-neoliberal melainkan, untuk menghumaniskan atau mencerahkan globalisasi-neoliberal. Atau dalam bahasa David Held, tujuannya adalah untuk

“provide the basis for a free, fair, and just world economy,” where the “values of efficient and effective global economic processes…function in a manner commensurate with self-determination, democracy, human rights, and environmental sustainability.”

Peran Negara

Kini, saya mau masuk pada kritik terhadap posisi teoritik yang dianut oleh Indrasari Tjandraningsih. Khususnya, menyangkut posisi negara dalam konteks pasar kerja fleksibel.

Seperti diketahui, kebijakan menyangkut pasar kerja fleksibel adalah salah satu cabang dari pohon besar kebijakan neoliberal. Tujuan utamanya adalah memperlancar pergerakan kapital guna sebesar-besarnya akumulasi keuntungan. Dan salah satu peghambat terbesar arus kapital adalah adanya serikat buruh yang kuat. Di titik ini, penerapan kebijakan pasar kerja fleksibel pada esensinya dimaksudkan untuk menghancurkan keberadaan serikat buruh kuat sebagai alat bagi buruh untuk menghadapi kapital.

Pertanyaannya kemudian, dimana keberadaan negara dalam konteks hubungan buruh dan kapital? Globalisasi neoliberal, sesungguhnya merupakan respon kapital terhadap kegagalan paradigma Keynesian dan rejim Sosial Demokrasi, pada akhir 1970an. Seperti diketahui, Keynesianisme dan Sosial Demokrasi, menempatkan negara sebagai agen pembangunan. Negara tidak hanya menjadi “anjing penjaga malam,” atau berperan sebagai wasit dalam pertarungan bisnis, atau menjadi tukang koreksi kegagalan pasar. Lebih dari itu, negara juga aktif terlibat dalam urusan-urusan bisnis yang tujuan utamanya untuk memenuhi kepentingan publik.

Tetapi, dan ini yang banyak diabaikan, rejim Sosial Demokrasi dan Keynesianisme penanda utamanya adalah terjadinya kolaborasi kelas antara kapital dan buruh. Kolaborasi ini terjadi karena adanya keseimbangan kekuatan antara kapital dan buruh. Hasilnya, Sosial Demokrasi dan Keynesianisme muncul sebagai “big government,” yang sanggup meregulasi kapital, dan meredistribusikan pendapatan dan kemakmuran.

Pada periode 1950-1973, rejim Sosial Demokrasi dan Keynesianisme mencapai puncak kejayaannya. Dalam periode tersebut, negara-negara kapitalis maju menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat pengangguran yang rendah, standar hidup yang tinggi, dan stabilitas sosial. Sementara, negara-negara kapitalis pinggiran dan semi pinggiran, juga menuai imbas dari sukses tersebut. Beberapa kemajuan dalam pembangunan nasional bisa dicapai melalui strategi “substitusi impor,” atau industrialisasi “sosialis.”

Tetapi, kapasitas Sosial Demokrasi dan Keynesianisme terbukti gagal dalam meredam kontradiksi inheren yang melekat pada kapitalisme. Negara yang budiman (meminjam istilah Kuntowijoyo), hanya mungkin jika terjadi pertumbuhan ekonomi tinggi yang konstan. Syarat ini membutuhkan syarat lainnya yakni, adanya kebebasan yang seluas-luasnya bagi pergerakan kapital. Tetapi, itu menjadi musykil ketika pada saat yang sama negara juga memberi ruang yang luas bagi serikat buruh. Terbukti, daya tahan Keynesianisme dan Sosial Demokrasi untuk mengakomodasi konflik kelas dan mengelola secara relatif rata-rata permintaan yang tinggi, hanya berlangsung selama dua dekade. Keseimbangan kelas itu pada akhirnya runtuh. Terjadi perubahan keseimbangan kekuatan antara kapital dan buruh, dan antara pusat dan pinggiran, yang ditandai oleh menurunnya tingkat keuntungan yang kemudian menyumbang pada terjadinya krisis akumulasi pada dekade 1960an dan 1970an. Dan sebagai jalan keluar dari krisis ini, menurut Minqi Li, elite penguasa global kemudian meluncurkan kebijakan neoliberalisme.

Itulah sebabnya, dalam rangka kepentingan akumulasi kapital sebesar-besarnya, seluruh kebijakan neoliberalisme dimaksudkan untuk menghancurkan Keynesianisme dan Sosial Demokrasi. Dalam neoliberalisme, negara dirantai tangannya dari masalah publik. Negara hanya dibolehkan turut campur, jika muncul gangguan terhadap kelancaran proses akumulasi tersebut.

Pada titik ini, kita mesti melihat posisi negara secara kritis. Banyak pengamat mengatakan, di era kapitalisme-neoliberal peran negara menjadi minimal. Negara tinggal sebagai aparatus administratif yang memboroskan anggaran, tempat bersemainya praktek moral hazard, atau wilayah dalam pengertian teritorial. Tetapi, dalam prakteknya, yang disebut negara minimal itu tak lebih dari pemanis bibir di pesta-pesta akademik. Yang sesungguhnya terjadi adalah pergeseran secara drastis peran negara, dibanding masa Keynesianisme atau Sosial Demokrasi. Dimana saat ini, peran negara justru semakin besar dalam melancarkan pergerakan kapital. Bahkan, menurut Ellen Meiksins Wood, negara merupakan agen utama globalisasi. Dalam pasar global, demikian Wood, kapital membutuhkan negara untuk mengelola kondisi-kondisi yang ajeg bagi kepentingan akumulasi, untuk menciptakan buruh yang berdisiplin, dan untuk mempercepat mobilitas kapital sementara disaat yang sama, menekan pergerakan tenaga kerja.

Kalau begini soalnya, tuntutan agar negara mesti berperan aktif dalam menanggulangi dampak buruk dari pasar kerja fleksibel, adalah persoalan yang sangat serius.***

Kepustakaan:

Ellen Meiksins Wood, “Labor, the State, and Class Struggle,” Monthly Review, July-August, 1997.

Martin Shaw, “The Deep Challenge Of Global Social Democracy,” 2002, http://www.editiondesign.com/fgf/forum/article001.html

Minqi Li, “After Neoliberalisme Empire, Social Democracy, or Socialism?” Monthly Review, January 2004.

Walden Bello, “The Post-Washington Consensus: the Unraveling of a Doctrine of Development Defending and Reclaiming the Commons – IMF and World bank,” Friday, 14 September 2007, http://focusweb.org/.

Apa Kabar Kelas Menengah?

April 18, 2008 § 8 Komentar

SETELAH satu dekade krisis, ada banyak hal yang bisa kita renungkan. Tulisan singkat kali ini, hendak menyorot peran kelas menengah dalam mengonsolidasikan demokrasi.

Sebelumnya, saya mendefinisikan kelas menengah, sebagai kelas yang berada di antara kelas pekerja dan kelas pemilik kapital. Definisi ini memang terlalu luas dan kontroversial tapi, hingga kini masih cukup bisa diterima. Siapakah mereka ini? Meminjam kategorisasi Richard Robison (1993), dalam struktur ekonomi politik orde baru (Orba), mereka terdiri dari kalangan intelektual, teknokrat, manajer profesional, pengacara, aktivis LSM, aktivis partai politik, aktivis mahasiswa, dan pengusaha menengah bawah.

Saya ingin membicarakan peran kelas ini, karena sumbangan besar mereka – terutama gerakan mahasiswa dan intelektual progresif – dalam menumbangkan kediktatoran Soeharto. Tetapi, setelah satu dekade reformasi, tampak gejala dimana peran kelas menengah menjadi tidak jelas.

Watak Kelas Menengah

Dalam sejarah orde baru, kelas menengah sangat tergantung pada proteksi dan kemurahan hati Negara. Kemanapun pun pendulum politik bergerak, kelas ini selalu saja mampu menyesuaikan dirinya. Ketika rejim Orba bergerak dengan politik-ekonomi dirigisme, kalangan ini berlomba-lomba mendekat ke sentral kekuasaan untuk memperoleh sisa irisan kue pembangunan. Demikian juga, tatkala angin politik bergerak ke sisi liberalisme, kalangan ini menuntut negara agar melindungi sumberdaya yang masih rentan.

Pada masa itu, kelas menengah menjadi juru bicara kebijakan Dwifungi ABRI yang brutal, sistem politik yang terpusat di lingkaran istana negara, dan politik-ekonomi yang mengandalkan buruh murah dan eksploitasi sumberdaya alam secara masif dan maksimal. Bagian lain dari kelas menengah saat itu, menjadi tukang penyedia basis massa bagi keberlangsungan hidup rejim tapi, pada saat yang sama turut mengekalkan kebijakan politik massa mengambang.

Dengan watak politik seperti itu, seperti ditulis Robison, di masa Orba, gambaran mengenai kelas menengah sebagai secara inheren adalah kelas yang liberal dan reformis, sulit dipertahankan. Mereka adalah kelas yang terdepolitisasi, materialis, dan gagasan-gagasannya lebih digerakkan oleh ideal-ideal politik otoriterian ketimbang demokratik.

Kelas menengah baru mulai menunjukkan tanda-tanda pembangkangan, ketika rejim Orba semakin sulit memenuhi kepentingannya. Kalkulasi politiknya memperlihatkan, berada terus di samping Soeharto tidak menguntungkan bagi masa depannya. Sikap inilah, misalnya, yang ditunjukkan oleh gelombang eksodus anggota kabinet yang dimotori Ginandjar Kartasasmita. Pembangkangan kelas menengah kian menjadi-jadi, ketika puluhan perusahaan bangkrut diterjang gelombang krisis moneter. Bersama dengan gerakan mahasiswa yang mengalami radikalisasi, mereka bergabung di jalan-jalan utama ibukota. Hingga kemudian, sang jenderal tua itu jatuh.

Back to nature

Ketika pintu gerbang reformasi terbuka lebar, sistem politik serta-merta berubah. Demokrasi prosedural yang terbatas pelan-pelan dilembagakan. Di sektor ekonomi, rejim baru ini tunduk-patuh pada resep-resep kebijakan neoliberal yang didiktekan oleh lembaga keuangan multilateral.

Kombinasi kedua hal ini, membawa Indonesia menjadi satu dalam barisan negara-negara kapitalis-neoliberal yang terbelakang. Dalam rentang waktu satu dekade, selain pesta-pora, tak banyak cerita indah yang membuai. Di bidang politik, memang ada kebebasan politik tetapi, minus civil liberty. Secara politik, birokrasi dan TNI juga tidak sedigdaya dulu. Meminjam istilah Hans-Dieter Evers, kini mereka telah berposisi sebagai kelompok strategis. Pendulum kekuasaan politik saat ini ada di tangan partai politik.

Tetapi, jika di sektor politik terjadi perbedaan dengan sistem politik Orba, di sektor ekonomi rejim baru justru mempercepat, memperkuat, dan memperdalam apa-apa yang telah di rintis oleh Orba. Upah buruh murah tetap menjadi jualan utama bahkan, kini diperparah dengan diadopsinya kebijakan fleksibilitas kerja. Demikian juga dengan eksploitasi sumberdaya alam yang semakin intensif.

Tidak aneh, jika rakyat banyak yang sejak masa Orba telah tersingkir dari aktivitas ekonomi di sektor formal, kini semakin tersingkir. Bahkan lebih parah lagi, jika di masa Orba pemerintah masih ringan tangan menyediakan sembilan bahan kebutuhan pokok murah, kini atas nama efisiensi pemerintah angkat tangan dari tanggung jawabnya. Hasilnya, biaya-biaya kebutuhan dasar seperti, pendidikan, kesehatan, dan bahan kebutuhan pokok, semakin sulit dijangkau. Bagi mereka, reformasi adalah repotnasi.

Struktur ekonomi-politik baru ini, juga dengan cepat menjadi kendaraan bagi oligarki lama untuk kembali ke pusat-pusat kekuasaan politik dan ekonomi. Walaupun kini harus berbagi tempat dengan modal internasional, komposisi oligarki di pusat kekuasaan tidak mengalami perubahan yang substansial. Dalam pengertian, para aktornya masih itu-itu juga. Memang posisi konglomerasi Cina, yang sebelumnya begitu mendominasi sektor ekonomi, kini telah sedikit bergeser ke pinggiran. Tempatnya kini diisi oleh konglomerasi pribumi yang berpusat di lingkaran Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie.

Pertanyaannya, dimana peran kelas menengah saat ini? Apakah mereka telah berubah dari gambaran awal yang ditorehkan Robison? Ataukah mereka tetap menempel pada oligarki lama?

Saya ingin mengatakan, mayoritas kelas menengah saat ini tidak mengalami perubahan watak dan sikap politik yang substansial. Mereka tetaplah kelas yang menempel pada kekuasaan, terbawa langgam oligarki. Para teknokrat, misalnya, baik yang tua maupun yang muda, kembali pada fungsi lamanya sebaga juru bicara oligarki; para aktivis partai politik tetap menempatkan dirinya sebagai tukang penyedia basis massa; para jurnalis tak lagi kritis pada struktur yang menindas; aktivis LSM sibuk dengan masalah-masalah teknis-programatik dari struktur yang ada; dan aktivis mahasiswa lebih banyak bergerak berdasarkan kebutuhan patron politik.

Kelas menengah yang independen dan kritis, yang bergerak berdasarkan kepentingan buruh, tani, nelayan, kaum miskin kota, dan pegawai negeri golongan rendahan, tetap merupakan minoritas. Seperti di masa Orba, di tengah-tengah mayoritas kelas menengah yang diam, suara mereka terdengar aneh. Tetapi, kalau dulu suara kritis itu mendatangkan kengerian, kini hanya menimbulkan rasa geli.

Apa kabar kelas menengah?***